Skip to main content

Simulacra dan Samsara dalam Kehidupan Modern


Di tengah denyut nadi kehidupan modern yang berdegup kencang, penuh gesit dan dibombardir oleh gelombang distraksi yang tak henti, kita terdampar dalam sebuah budaya yang paradoks. Budaya ini menjanjikan kebahagiaan, menawarkan kedamaian instan layaknya komoditas yang dapat dibeli di toko daring, seraya menyembunyikan jurang kehampaan di balik kilau permukaannya. Media sosial, sang panggung raksasa zaman ini, mempertontonkan galeri hidup sempurna—wajah-wajah tersenyum di balik filter, pencapaian material yang gemilang, petualangan eksotis yang seolah tanpa cela—sebuah panorama yang dikurasi dengan teliti namun seringkali hanyalah pantulan retak dari kenyataan. Hiburan menawarkan pelarian sementara, obat bius bagi jiwa yang lelah, namun jarang menyentuh akar kegelisahan. Fenomena ini menggemakan, dengan suara yang menggetarkan, konsep simulacra yang digagas oleh Jean Baudrillard, sang pemikir postmodern. Baudrillard memperingatkan kita tentang dunia yang tenggelam dalam lautan tiruan, di mana representasi—simulacra—tidak lagi merujuk pada realitas asli, melainkan telah menggantikannya, menciptakan hiperrealitas di mana yang palsu menjadi lebih nyata daripada yang nyata, dan esensi kebenaran menguap ditelan permukaan yang mempesona namun kosong.

Pada saat yang sama, dari khazanah kebijaksanaan Timur yang abadi, konsep samsara dalam ajaran Buddha menggambarkan sebuah siklus eksistensi yang tak berujung, roda kelahiran, kehidupan, penderitaan, kematian, dan kelahiran kembali. Samsara adalah penjara halus yang dibangun dari bata keinginan (tanha) dan dinding kebodohan (avijja). Makhluk hidup terombang-ambing dalam arusnya, terikat oleh keterikatan (upadana) pada hal-hal yang pada hakikatnya tidak kekal (anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan tanpa inti kekal yang sejati (anatta). Keterikatan pada ilusi inilah yang mengabadikan siklus penderitaan. Di sinilah, dalam kontemplasi yang mendalam, kita menemukan titik temu yang sungguh mengagumkan dan mengerikan antara analisis Baudrillard tentang dunia modern dan diagnosis Buddha tentang kondisi manusia universal. Simulacra adalah samsara dalam baju postmodern; samsara adalah simulacra yang dirayakan dalam drama kosmik. Keduanya adalah cermin yang memantulkan wajah tunggal keterperangkapan kita dalam jaring-jaring ilusi, dalam Maya—istilah kunci dalam filsafat Vedanta dan Theosofi yang merujuk pada selubung ilusi yang menyembunyikan Realitas Mutlak (Brahman). Dunia fenomenal, dengan segala bentuk dan rupanya, termasuk proyeksi hiperreal simulacra dan siklus tanpa akhir samsara, adalah permainan Maya. Keterikatan kita padanya, kepercayaan kita bahwa inilah satu-satunya realitas, adalah akar dari segala penderitaan, atau dalam bahasa Buddha, Dukkha.

Dukkha, Kebenaran Mulia Pertama yang disabdakan Buddha, bukan sekadar penderitaan fisik yang kasat mata, melainkan lebih dalam lagi: ia adalah ketidakpuasan yang melekat, rasa tidak lengkap, ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan, yang meresapi seluruh keberadaan yang terkondisi. Memahami Dukkha bukanlah sikap pesimis atau pasrah pada keputusasaan, melainkan pengakuan jujur dan berani terhadap sifat dasar kehidupan dalam dunia Maya ini. Dari perspektif esoteris dan theosofis, Dukkha bisa dipahami sebagai rasa sakit yang muncul ketika Jiwa (Atman, Sang Diri Sejati) yang abadi dan bebas terperangkap dalam jaring Maya, dalam permainan identifikasi dengan bentuk-bentuk sementara—tubuh, pikiran, emosi, dan segala objek duniawi termasuk citra-citra simulacra. Penderitaan adalah alarm alami yang membangunkan kita dari tidur kesadaran, dari identifikasi palsu dengan persona (topeng) yang kita kenakan dalam drama samsara/simulacra ini. Menghindari Dukkha, sebagaimana banyak dilakukan dalam budaya instan kita, sama saja dengan menekan alarm itu dan kembali tidur nyenyak dalam mimpi Maya. Sebaliknya, menghadapinya dengan penuh kesadaran adalah langkah pertama yang esensial dalam perjalanan spiritual yang sejati menuju pembebasan (mokshanirvana), menuju penyadaran kembali akan Hakikat Sejati kita yang melampaui segala bentuk dan ilusi.

Simulacra Baudrillard bekerja dengan canggih dalam samsara modern. Ia menawarkan solusi palsu untuk Dukkha yang kita rasakan. Gambaran kebahagiaan sempurna di media sosial adalah simulacra yang menggantikan pengalaman kebahagiaan otentik yang mungkin penuh kompleksitas dan perjuangan. Konsumsi berlebihan, didorong oleh mesin kapitalisme yang haus, menjanjikan kepuasan melalui kepemilikan objek—simulacra lain yang diyakini akan mengisi kekosongan batin. Bahkan pencarian spiritualitas seringkali direduksi menjadi produk: retret yoga mewah yang menjanjikan pencerahan dalam seminggu, jimat-jimat digital untuk keberuntungan, atau ajaran-ajaran yang dikemas ringkas dan menghindari segala hal yang tidak nyaman. Inilah bentuk baru keterikatan, sebuah kemelekatan pada ilusi ketidakkekalan yang dibungkus dengan janji-janji palsu tentang keabadian atau kepenuhan instan. Dari kacamata theosofis, ini mencerminkan pengaruh kuat dari "dunia astral" yang lebih rendah—alam emosi dan keinginan yang belum dimurnikan—di mana ilusi dan fantasi memiliki kekuatan besar untuk menipu kesadaran yang belum tercerahkan. Energi astral yang kacau dan tak terkendali inilah yang dimanipulasi oleh mesin simulacra modern, menciptakan pusaran samsara virtual yang tak kalah kuatnya dengan pusaran tradisional.

Budaya modern, dengan segala perangkat simulacranya, mempromosikan escapism (pelarian) sebagai norma. Ketika Dukkha menghampiri—rasa bosan, kesepian, kegelisahan eksistensial, konflik hubungan—kita disodori seribu satu cara untuk lari: menggulir layar tanpa henti, membenamkan diri dalam game virtual, menenggak konten hiburan yang menghipnotis, atau bahkan melarikan diri ke dalam bentuk-bentuk "spiritualitas palsu". Spiritualitas palsu atau "simulacra-spiritual" ini sangat berbahaya. Ia mengambil simbol, bahasa, dan ritual tradisi suci, namun mengosongkannya dari substansi transformatifnya. Ia menjual kedamaian sebagai produk akhir yang bisa dicapai tanpa melalui api penyucian batin, tanpa penghancuran ego (ahamkara), tanpa pengorbanan (yajna) yang sejati. Ia menawarkan pencerahan instan tanpa disiplin, kebahagiaan tanpa penerimaan terhadap penderitaan, pembebasan tanpa pelepasan. Ini adalah racun halus yang menguatkan ilusi ego, bukannya melarutkannya. Dalam istilah Gurdjieff, seorang guru esoteris modern, ini adalah tanda dari "manusia mesin" yang terus tidur, mencari kenyamanan dalam mimpi, menolak untuk "terbangun" melalui penderitaan yang disadari dan kerja keras pada diri sendiri. Theosofi mengajarkan bahwa jalan spiritual sejati menuntut pengendalian pikiran dan emosipelayanan tanpa pamrih, dan penyelarasan kehendak pribadi dengan Kehendak Ilahi (atau Hukum Kosmis)—semuanya merupakan proses yang menuntut ketekunan, keberanian, dan konfrontasi langsung dengan bayangan-bayangan dalam diri (Dukkha kita yang paling pribadi), bukan pelarian darinya.

Kisah perjalanan Nabi Musa membawa Bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir menuju Tanah Terjanji memberikan simbolisme yang sangat dalam dan relevan. Mesir, dalam tafsir esoteris dan theosofis, melambangkan dunia material, dunia keterikatan pada hal-hal indrawi dan kesenangan fisik, dunia perbudakan oleh keinginan rendah dan ilusi ego. Firaun adalah personifikasi dari ego yang angkuh, yang menolak melepaskan cengkeramannya atas Jiwa (Bangsa Israel). Keluar dari Mesir adalah langkah awal pembebasan—sebuah pengakuan akan Dukkha perbudakan dan keinginan untuk merdeka. Namun, perjalanan melalui padang gurun selama 40 tahun adalah metafora yang sangat penting. Padang gurun adalah tempat ujian, tempat ketidakpastian, tempat konfrontasi dengan ketakutan, keraguan, dan godaan untuk kembali ke "bawang dan daging" Mesir—ke zona nyaman ilusi lama. Di sinilah proses transformasi batin terjadi. Keempat puluh tahun melambangkan siklus penyempurnaan, periode yang diperlukan untuk "matangnya" kesadaran kolektif, untuk matinya generasi mentalitas budak dan lahirnya generasi yang siap memasuki kesadaran baru. Tanah Terjanji bukanlah tempat geografis semata, melainkan simbol dari keadaan kesadaran yang telah dimerdekakan, yang telah mencapai persatuan dengan Yang Ilahi, yang telah melampaui Maya menuju Realitas Sejati. Perjalanan ini penuh penderitaan, pengorbanan, dan ketekunan—sebuah cermin sempurna dari Jalan Berunsur Delapan Buddha yang menuntut pengertian benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar, semuanya bertujuan mengikis akar samsara: kebodohan dan keinginan.

Buddha sendiri, Pangeran Siddhartha Gautama, adalah contoh agung dari keberanian menghadapi Dukkha. Ia meninggalkan istana yang penuh kemewahan dan kesenangan indrawi (simulacra kebahagiaan duniawi zamannya) untuk mencari kebenaran sejati. Pertemuannya dengan penderitaan—orang tua, orang sakit, orang mati—bukan dihindarinya, melainkan diterimanya sebagai guru yang membuka mata. Penerimaan inilah yang mendorongnya menuju Penerangan Sempurna di bawah Pohon Bodhi. Ajaran utamanya berpusat pada Empat Kebenaran Mulia: Kebenaran tentang Dukkha, Kebenaran tentang Asal Mula Dukkha (keinginan/ketagihan), Kebenaran tentang Terhentinya Dukkha (Nirvana), dan Kebenaran tentang Jalan Menuju Terhentinya Dukkha (Jalan Berunsur Delapan). Intinya jelas: pembebasan (Nirvana) hanya mungkin melalui pemahaman mendalam dan penerimaan terhadap Dukkha, bukan melalui penyangkalannya atau pelarian darinya. Nirvana bukanlah surga yang terpisah, melainkan keadaan kesadaran yang telah padamnya api keinginan dan kebodohan, yang telah melampaui dualitas dan identifikasi dengan yang fana. Dalam bahasa Theosofi, Nirvana adalah realisasi Kesatuan dengan Yang Mutlak, peniadaan akhir dari ilusi pemisahan yang diciptakan oleh Maya. Ini adalah kembalinya Sang Diri (Atman) kepada Diri Universal (Brahman).

Lalu, di manakah kita berdiri dalam pusaran simulacra dan samsara ini? Bagaimana kita menemukan jalan keluar dari labirin ilusi menuju kedamaian sejati yang tidak bergantung pada kondisi luar yang senantiasa berubah? Jawabannya, sebagaimana diajarkan oleh kebijaksanaan abadi baik Timur maupun Barat (dalam tradisi esoterisnya), terletak pada transformasi kesadaran dari dalam. Ini bukanlah proses pasif, melainkan perjuangan aktif, sebuah peperangan suci (jihad akbar) melawan musuh dalam selimut: ego yang terhipnotis oleh Maya. Langkah pertama adalah Kesadaran dan Pengakuan Jujur. Kita harus jujur mengakui keterperangkapan kita dalam jaringan simulacra dan siklus samsara. Kita perlu mengembangkan mata batin yang mampu melihat melalui topeng-topeng yang kita kenakan dan yang dikenakan dunia kepada kita. Meditasi, kontemplasi, dan praktik perenungan filosofis adalah alat vital untuk mempertajam kesadaran ini, untuk mengamati pikiran, perasaan, dan dorongan kita tanpa penghakiman, namun dengan kewaspadaan penuh (mindfulness). Dari perspektif esoteris, ini adalah fungsi dari "Sang Pengamat" atau Kesadaran Murni dalam diri kita, yang berbeda dari pikiran dan emosi yang bergejolak.

Langkah kedua adalah Penerimaan terhadap Dukkha. Ini bukan kepasrahan fatalistik, melainkan sikap bijaksana memahami bahwa penderitaan, ketidaknyamanan, perubahan, dan ketidakkekalan adalah hukum alam dalam dunia bentuk ini. Ketika kita berhenti berperang melawan kenyataan ini, ketika kita berhenti menuntut dunia dan diri kita untuk sesuai dengan gambaran ideal simulacra yang kita idamkan, maka energi yang sebelumnya terbuang untuk perlawanan sia-sia itu dapat dialihkan untuk transformasi. Penerimaan membuka pintu bagi belas kasih (karuna), baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, karena kita memahami bahwa semua makhluk berbagi beban Dukkha yang sama dalam samsara ini. Dalam Theosofi, penerimaan ini terkait dengan pemahaman tentang Hukum Karma—hukum sebab-akibat moral yang mengatur evolusi jiwa. Setiap penderitaan memiliki akar karmanya, dan penerimaan adalah langkah untuk memahami dan membersihkannya, bukan untuk memberontak dan menciptakan karma baru.

Langkah ketiga, yang merupakan inti dari Jalan, adalah Pelepasan Keterikatan (Vairagya). Inilah seni melepaskan kemelekatan pada objek-objek duniawi, pada citra diri, pada hasil, bahkan pada bentuk-bentuk spiritual yang dangkal. Pelepasan bukan berarti menjadi apatis atau meninggalkan dunia, melainkan berinteraksi dengannya tanpa terikat, tanpa menjadikannya sumber kebahagiaan atau identitas mutlak. Kita menggunakan dunia tanpa dimiliki olehnya. Dalam konteks simulacra, ini berarti mampu menikmati media sosial tanpa terobsesi pada validasi, mampu bekerja mencari nafkah tanpa terjebak dalam nafsu keserakahan, mampu mengalami kesenangan tanpa ketagihan. Pelepasan ini didasari oleh pemahaman mendalam tentang Anicca (ketidakkekalan) dan Anatta (bukan-diri) dalam Buddhisme, atau dalam Theosofi, pemahaman bahwa semua bentuk adalah sementara dan Sang Diri Sejati melampauinya. Praktiknya adalah pengendalian indera (dama), kesederhanaan hidup, dan pengembangan sifat tidak melekat (non-attachment).

Langkah keempat adalah Pengembangan Kebajikan dan Kebijaksanaan (Prajna). Jalan spiritual bukan hanya penghancuran ilusi, tetapi juga pembangunan kualitas-kualitas luhur. Cinta kasih (metta), belas kasih (karuna), sukacita altruistik (mudita), dan keseimbangan batin (upekkha)—empat keadaan luhur (Brahmaviharas) dalam Buddhisme—adalah pondasi. Demikian pula, kebenaran (satya), tanpa kekerasan (ahimsa), pengendalian diri (brahmacharya), dan ketidakserakahan (aparigraha) dalam tradisi Yoga. Dari sudut pandang esoteris, ini adalah penjernihan dan penguatan "tubuh astral" (alam perasaan) dan "tubuh mental" agar mampu menjadi wahana yang lebih murni bagi kesadaran spiritual. Kebijaksanaan (prajna) tumbuh dari pengalaman langsung melalui meditasi, studi, dan refleksi mendalam tentang hakikat realitas. Ia adalah penerangan yang membakar habis sisa-sisa kebodohan (avijja) yang menjadi akar samsara dan ketertipuan oleh simulacra.

Akhirnya, langkah kelima adalah Pelayanan Tanpa Pamrih (Karma Yoga). Pembebasan sejati bukanlah pelarian dari dunia, melainkan keterlibatan penuh kasih di dalamnya, tetapi tanpa keterikatan pada hasil. Inilah esensi Karma Yoga dalam Bhagavad Gita: bertindak sesuai dengan kewajiban (dharma) seseorang, menawarkan semua hasil tindakan kepada Yang Ilahi, dan melepaskan keinginan pribadi. Dalam Buddhisme Mahayana, ini terwujud dalam ideal Bodhisattva—makhluk yang menunda Nirvananya sendiri demi membantu semua makhluk mencapai pencerahan. Pelayanan menjadi ekspresi alami dari kesadaran yang telah meluas, yang menyadari kesatuan fundamental semua kehidupan (Advaita). Dalam menghadapi simulacra dunia modern, pelayanan menjadi tindakan kontra-ilusi—sebuah penanaman benih-benih keaslian, kejujuran, dan kepedulian dalam ladang hiperrealitas.

Refleksi yang panjang ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang terdengar paradoks bagi telinga modern yang terbiasa dengan janji-janji instan: Kedamaian Sejati ditemukan bukan dalam menghindari penderitaan (Dukkha), tetapi dalam menghadapinya dengan penuh kesadaran, menerimanya sebagai bagian dari lanskap eksistensi manusia dalam Maya, dan menggunakannya sebagai batu pijakan untuk transformasi batin. Simulacra Baudrillard dan Samsara Buddha adalah dua lensa yang berbeda, namun keduanya mengungkapkan kebenaran yang sama: kita terperangkap dalam permainan ilusi karena keterikatan dan kebodohan. Jalan keluarnya adalah jalan kesadaran, penerimaan, pelepasan, pengembangan kebajikan, kebijaksanaan, dan pelayanan. Ini adalah jalan yang menuntut ketekunan seperti perjalanan bangsa Israel di padang gurun, keberanian seperti Buddha yang meninggalkan istana, dan ketulusan untuk menghadapi bayangan diri sendiri. Jalan ini tidak menjanjikan kebahagiaan instan yang ditawarkan simulacra spiritual, tetapi ia menawarkan sesuatu yang jauh lebih berharga: kebebasan sejati (mokshanirvana) yang tidak tergoyahkan oleh badai dunia luar atau badai dalam batin. Kebebasan yang lahir dari penyadaran bahwa Sang Diri Sejati kita—Atman, Buddha Nature, Percikan Ilahi—tidak pernah terlahir, tidak pernah mati, tidak pernah terikat oleh ilusi samsara atau simulacra apa pun. Ia adalah Sang Saksi Abadi di tengah segala perubahan, Sang Damai yang telah ada sejak semula. Perjalanan spiritual yang sejati adalah perjalanan pulang kepada Kesadaran ini, meninggalkan identifikasi dengan topeng-topeng dan tiruan-tiruan, dan menemukan kedamaian yang tak terkatakan dalam Realitas yang melampaui segala nama dan rupa, di tengah samudra ilusi dunia modern yang senantiasa bergelora.

Referensi:

Sumber Filsafat & Teori Sosial:

  1. Baudrillard, Jean
    • Simulacra and Simulation (1981) – Konsep hiperrealitas dan simulacra sebagai pengganti realitas.
    • The Consumer Society: Myths and Structures (1970) – Analisis budaya konsumer dan ilusi kebahagiaan material.
  2. Gurdjieff, G.I.
    • In Search of the Miraculous (1949) – Ajaran tentang "manusia mesin" dan pentingnya kesadaran.
  3. Nietzsche, Friedrich
    • Thus Spoke Zarathustra (1883) – Kritik terhadap moralitas konvensional dan konsep "kematian Tuhan" dalam budaya modern.

Sumber Buddhisme & Spiritualitas Timur:

  1. Ajahn Chah
    • Everything Arises, Everything Passes Away – Ajaran Theravada tentang ketidakkekalan (anicca) dan penderitaan (dukkha).
  2. Dalai Lama XIV
    • The Art of Happiness (1998) – Pembahasan tentang penderitaan dan kebahagiaan sejati dalam Buddhisme Tibet.
  3. Thich Nhat Hanh
    • The Heart of the Buddha’s Teaching (1998) – Penjelasan Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan.
  4. Pema Chödrön
    • When Things Fall Apart (1996) – Pendekatan kontemplatif terhadap penderitaan dan ketidakpastian.

Sumber Esoteris & Theosofi:

  1. Blavatsky, H.P.
    • The Secret Doctrine (1888) – Konsep Maya, hukum karma, dan evolusi spiritual.
    • The Voice of the Silence (1889) – Ajaran tentang pelepasan dan jalan Bodhisattva.
  2. Besant, Annie & Leadbeater, C.W.
    • Thought-Forms (1901) – Analisis pengaruh pikiran dan emosi pada tubuh astral.
  3. Krishnamurti, Jiddu
  • Freedom from the Known (1969) – Kritik terhadap otoritas spiritual dan pentingnya kesadaran mandiri.

Sumber Kitab Suci & Mitologi:

  1. Bhagavad Gita
  • Konsep Karma Yoga (tindakan tanpa keterikatan) dan Jnana Yoga (kebijaksanaan).
  1. Alkitab (Keluaran)
  • Kisah Nabi Musa dan perjalanan bangsa Israel sebagai alegori pembebasan spiritual.

Sumber Psikologi & Analisis Budaya:

  1. Fromm, Erich
  • To Have or To Be? (1976) – Kritik terhadap masyarakat konsumeristik dan pencarian kebahagiaan palsu.
  1. Huxley, Aldous
  • The Perennial Philosophy (1945) – Kesamaan ajaran spiritual dalam berbagai tradisi.
  1. Wilber, Ken
  • The Spectrum of Consciousness (1977) – Integrasi psikologi dan spiritualitas.


Comments

Popular posts from this blog

Ulang Tahun dalam Perspektif Kebudayaan dan Filsafat: Makna Spiritualitas di Balik Perayaan

Ulang tahun adalah peristiwa yang secara universal dirayakan di berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Perayaan ini tidak hanya menjadi momen kebahagiaan dan refleksi, tetapi juga mengandung makna mendalam yang berakar pada berbagai tradisi spiritual dan filsafat. Artikel ini akan mengeksplorasi makna ulang tahun dari perspektif kebudayaan dan filsafat, dengan fokus pada bagaimana berbagai tradisi dan pemikiran memberikan arti pada perayaan ulang tahun sebagai sebuah momen sakral dalam perjalanan hidup manusia. Ulang Tahun dalam Perspektif Kebudayaan Dalam banyak kebudayaan, ulang tahun dianggap sebagai tonggak penting dalam kehidupan seseorang. Di beberapa tradisi, seperti di Bali, Indonesia, ulang tahun (yang disebut "otonan") dirayakan dengan ritual yang penuh makna simbolis untuk menandai kelahiran fisik dan spiritual seseorang. Ulang tahun di sini bukan hanya sekadar perayaan kelahiran, tetapi juga pengingat akan hubungan antara individu dengan alam semesta da...

Tahun Baru Imlek

Tahun Baru Imlek, atau yang dikenal juga sebagai Festival Musim Semi, adalah salah satu perayaan terpenting dalam budaya Tionghoa. Namun, di balik tradisi dan perayaannya yang meriah, terdapat makna mendalam yang bisa ditinjau dari berbagai perspektif ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, esoteris, dan theosofi. Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi Tahun Baru Imlek melalui lensa ketiga disiplin ini, menggali makna filosofis, spiritual, dan universal yang terkandung di dalamnya.   --- 1. Filsafat: Keseimbangan dan Harmoni**   Dalam filsafat Tionghoa, terutama yang dipengaruhi oleh Taoisme dan Konfusianisme, Tahun Baru Imlek bukan sekadar perayaan pergantian tahun, tetapi juga momen untuk merefleksikan prinsip-prinsip hidup yang mendasar.   a. Yin dan Yang: Keseimbangan Alam**   Konsep Yin dan Yang, yang berasal dari Taoisme, menggambarkan dualitas dan keseimbangan alam semesta. Tahun Baru Imlek menandai awal musim semi, di mana energ...

Dualisme

Dualisme, sebagai teori yang menegaskan keberadaan dua prinsip dasar yang tak tereduksi, telah menjadi poros penting dalam perjalanan pemikiran manusia. Konsep ini tidak hanya mewarnai diskursus filsafat Barat dan agama-agama besar dunia, tetapi juga memicu refleksi mendalam dalam tradisi esoteris seperti Theosofi. Di balik perdebatan antara dualitas dan non-dualitas, tersembunyi pertanyaan abadi tentang hakikat realitas, kesadaran, serta hubungan antara manusia dengan kosmos. Kita akan menelusuri perkembangan dualisme dalam berbagai tradisi intelektual dan spiritual, sekaligus mengeksplorasi upaya untuk melampauinya melalui perspektif non-dualistik yang menawarkan visi kesatuan mendasar. Dalam filsafat Barat, René Descartes menancapkan tonggak pemikiran dualistik melalui pemisahan radikal antara  res cogitans  (pikiran) dan  res extensa  (materi). Descartes, dalam  Meditationes de Prima Philosophia , menempatkan kesadaran sebagai entitas independe...