Pada intinya, "bisa rumangsa aja rumangsa bisa"
mengajak kita pada dua pilar kesadaran yang saling menguatkan. "Bisa
rumangsa" adalah seruan untuk mengembangkan kepekaan batin yang mendalam,
kemampuan merasakan, menyadari, dan menghayati keberadaan diri sendiri dalam
segala keterbatasan dan potensinya, serta keberadaan segala sesuatu di sekelilingnya
dengan penuh empati dan tanggung jawab. Ini bukan sekadar perasaan dangkal,
melainkan sebuah penghayatan eksistensial, sebuah being-in-the-world ala
Heidegger, namun dengan nuansa kejawaan yang kental. Ia menuntut kejernihan
batin untuk mengenali getaran hati, motif tersembunyi, kekuatan, dan terutama
kelemahan diri. "Aja rumangsa bisa," di sisi lain, adalah peringatan
tegas dan penuh kearifan terhadap bahaya laten kesombongan, keangkuhan, dan
ilusi kemahatahuan. Ia adalah antidot bagi racun ego yang merasa serba mampu,
serba tahu, dan lebih tinggi dari yang lain. Kedua bagian ini bagaikan dua
sayap burung yang harus seimbang untuk terbang tinggi; kesadaran diri yang
mendalam menjadi landasan untuk menghindari jebakan keakuan yang membesar,
sementara kerendahan hati mencegah kesadaran itu berubah menjadi keangkuhan
spiritual atau intelektual. Filosofi ini berakar kuat pada nilai dasar
Jawa "eling lan waspada" – selalu ingat (terutama
pada Sang Pencipta dan kodrat manusia) serta selalu waspada (terhadap godaan
nafsu dan tipu daya dunia). Nilai-nilai inilah yang membentuk sikap hidup orang
Jawa yang bijak (wong Jawa kang wicaksana), yang bertindak bukan
berdasarkan impuls atau kesombongan, tetapi melalui pertimbangan batin yang
dalam dan kehati-hatian.
Menyelami dimensi filosofis "bisa rumangsa aja rumangsa
bisa" membawa kita pada dialog yang menarik dengan pemikiran Barat,
khususnya dengan Socrates, sang Bapak Filsafat. Pernyataan Socrates yang
masyhur, "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" (gnothi seauton -
kenalilah dirimu sendiri, yang mencapai puncaknya dalam pengakuan
ketidaktahuan), bergema sangat kuat dalam semangat "aja rumangsa
bisa". Socrates, melalui metode dialognya (maieutik), berusaha menunjukkan
betapa pengetahuan manusia itu terbatas dan betapa berbahayanya mengklaim
pengetahuan mutlak. Kesombongan intelektual (hubris), bagi Socrates,
adalah musuh utama pencarian kebenaran. Dalam konteks "bisa
rumangsa", Socratic self-knowledge menemukan padanannya. Mengenal diri
sendiri bukan hanya soal mengetahui fakta-fakta tentang diri, tetapi lebih pada
menyadari kedudukan diri dalam kosmos, memahami dorongan batin, bias-bias
pikiran, dan keterbatasan persepsi. Pengakuan ketidaktahuan Socrates bukanlah
akhir, melainkan awal yang membuka pintu bagi pembelajaran tiada henti.
Demikian pula, "bisa rumangsa" – kesadaran akan keterbatasan dan
kompleksitas diri serta situasi – adalah fondasi bagi kerendahan hati yang
memungkinkan pertumbuhan. Filosofi Jawa ini mengajarkan bahwa sikap terbuka
terhadap kritik, kesediaan mendengarkan pandangan berbeda, dan pengakuan bahwa
kebenaran mungkin lebih besar daripada pemahaman individu saat ini, adalah
bagian tak terpisahkan dari kebijaksanaan sejati. Di sini, baik tradisi Jawa
maupun pemikiran Sokrates bertemu pada satu titik: kebijaksanaan dimulai dengan
kerendahan hati yang lahir dari kesadaran diri yang jernih. Pemikiran Stoik
seperti Marcus Aurelius dengan renungannya tentang keterbatasan manusia dan
keutamaan mengendalikan persepsi juga menemukan resonansi dalam penekanan Jawa pada eling
lan waspada dan pengendalian diri (nrimo ing pandum, namun
dalam konteks usaha dan kesadaran, bukan pasivisme).
Namun, kearifan Jawa ini tidak berhenti pada tataran
rasional-filosofis. Ia menembus jauh ke dalam ranah esoteris,
wilayah pengetahuan batin dan spiritual yang bersifat rahasia dan
transformatif. Dalam semua tradisi esoteris yang serius – apakah itu Kabbalah
Yahudi, Sufisme Islam, Yoga dan Tantra Hindu-Buddha, Alkimia Barat, atau
mistisisme Kristen – perjalanan menuju pencerahan atau penyatuan dengan Yang
Ilahi selalu, selalu, dimulai dengan langkah pertama yang fundamental: pengenalan
diri (self-knowledge). "Bisa rumangsa" dalam perspektif esoteris
adalah proses inisiatik ini. Ia adalah perintah untuk masuk ke dalam gua hati,
melakukan introspeksi mendalam, menyinari sudut-sudut gelap jiwa, memahami
pola-pola emosi, pikiran otomatis, motivasi terselubung, dan sifat sejati sang
diri. Dalam Sufisme, ini dikenal sebagai muhasabah (introspeksi
diri) yang mendalam, sebuah proses pembersihan hati (qalb) dari
kotoran-kotoran nafsu (nafs al-ammarah). Dalam tradisi Kabbalah, ini
terkait dengan perjalanan melalui Sefirah yang lebih rendah,
khususnya Malkhut (Kerajaan, aspek diri paling material)
menuju Yesod (Fondasi, tempat ketidaksadaran dan potensi),
memerlukan kesadaran penuh akan kompleksitas batin manusia. Dalam Yoga, langkah
awal Patanjali (Yama dan Niyama) mencakup kebenaran
pada diri sendiri (Satya) dan introspeksi (Svadhyaya), yang
langsung bersinggungan dengan esensi "bisa rumangsa". Tanpa kesadaran
batin yang jernih ini, praktik-praktik spiritual yang lebih tinggi seperti
meditasi mendalam, ritual, atau pencapaian keadaan kesadaran lain, menjadi
berbahaya atau sia-sia, karena ego yang tidak terkendali akan menyusup dan
menyalahgunakannya. Kesadaran diri ini adalah dasar untuk menyelaraskan tubuh,
pikiran, dan jiwa, menciptakan harmoni internal yang menjadi prasyarat untuk
memahami harmoni kosmis.
Dan di sinilah "aja rumangsa bisa" memainkan peran
kritis dalam perjalanan esoteris. Musuh utama dalam semua jalan spiritual
adalah ego, sang aku yang terpisah dan merasa diri sebagai pusat
segalanya. "Aja rumangsa bisa" adalah mantra penangkal yang kuat
terhadap ilusi ego ini. Dalam esoterisme, ego (ahamkara dalam
Hindu, nafs dalam Sufisme) dianggap sebagai penghalang utama (veil)
yang menciptakan ilusi keterpisahan (maya) dari Realitas Mutlak
(Brahman, Allah, Tao, Dharmakaya). Ego inilah yang merasa "bisa",
"tahu", "lebih", "istimewa". Buddhisme menyerang
akar ilusi ini dengan konsep fundamental anatta (tanpa-diri/tiada inti
diri yang kekal). Ajaran Buddha menegaskan bahwa apa yang kita anggap
sebagai "diri" yang tetap dan mandiri hanyalah kumpulan unsur-unsur
yang saling bergantung (skandha) yang terus berubah. Merasa "rumangsa
bisa" – memiliki kemampuan atau pengetahuan yang tetap dan melekat pada
"aku" – adalah bentuk kemelekatan (upadana) yang menimbulkan
penderitaan (dukkha). Pelepasan ego, pencapaian anatta,
adalah jalan menuju kebebasan (nirvana). Dalam Sufisme, perjalanan
spiritual (suluk) adalah perjuangan panjang melawan nafs,
khususnya nafs al-lawwamah (jiwa yang mencela) dan
puncaknya nafs al-mutma'innah (jiwa yang tenang), menuju fana (peleburan
diri) dalam keesaan Allah. Proses fana ini mensyaratkan
penghancuran ego yang merasa diri "bisa" dan "ada" secara
terpisah. Alkimia spiritual Barat, melalui metafora pemurnian logam dasar
menjadi emas, juga berbicara tentang "kematian" ego duniawi (mortificatio)
sebagai langkah krusial menuju kelahiran kembali spiritual. "Aja rumangsa
bisa" dalam konteks ini adalah peringatan konstan untuk tidak membiarkan
ego menyamar sebagai pencapaian spiritual, tidak mengklaim kesucian atau
pengetahuan tinggi, tidak merasa lebih dekat kepada Tuhan daripada yang lain,
karena sikap itu sendiri adalah bukti bahwa ego masih berkuasa dan penghalang
itu masih kokoh berdiri. Kesombongan spiritual (spiritual pride)
dianggap sebagai salah satu jebakan terakhir dan paling berbahaya di jalan
esoteris.
Melangkah lebih jauh ke ranah universal, konsep "bisa
rumangsa aja rumangsa bisa" menemukan resonansi yang dalam dan indah
dalam Teosofi. Teosofi, sebagaimana dirumuskan oleh H.P. Blavatsky
dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Annie Besant dan C.W. Leadbeater,
berusaha menyatukan inti kebenaran dari semua agama dan filsafat dunia di bawah
payung Kebijaksanaan Kuno (Ancient Wisdom). Salah satu pilar utama
teosofi adalah konsep mikrokosmos dan makrokosmos: manusia sebagai
miniatur alam semesta, dan alam semesta sebagai manusia yang diperbesar. Segala
sesuatu di alam semesta besar (makrokosmos) memiliki korespondensinya dalam
diri manusia (mikrokosmos), dan sebaliknya. Prinsip "seperti di atas,
begitu pula di bawah" (Hermetic Maxim) menjadi landasan pemahaman ini.
Dalam kerangka teosofis ini, "bisa rumangsa" memperoleh dimensi yang
sangat luas. Ia bukan hanya kesadaran akan diri psikologis, tetapi kesadaran
akan diri sebagai mikrokosmos yang mencerminkan hukum, struktur, dan evolusi
makrokosmos. Menyadari diri berarti menyadari hubungan simbiosis dan tanggung
jawab kosmis yang melekat pada manusia. Setiap pikiran, perkataan, dan tindakan
individu (micro) beresonansi dan mempengaruhi jaring-jaring kehidupan
yang lebih luas (macro). Kesadaran ini (rumangsa) menjadi dasar
untuk memahami dan hidup selaras dengan hukum-hukum kosmis yang mengatur alam
semesta, seperti Hukum Karma (hukum sebab-akibat moral dan
spiritual yang menjangkau lintas kehidupan), Siklus Reinkarnasi (proses
evolusi jiwa melalui banyak kehidupan), dan Evolusi Spiritual (perjalanan
jiwa menuju kesempurnaan).
"Bisa rumangsa" dalam teosofi berarti menyadari
bahwa kita adalah bagian dari arus evolusi yang agung, bahwa kehidupan saat ini
adalah salah satu babak dalam perjalanan panjang jiwa, dan bahwa setiap
tindakan menanam benih (karma) yang akan berbuah pada waktunya.
Kesadaran ini mendorong tanggung jawab etis yang mendalam: bertindak dengan
bijaksana (wisdom), penuh kasih (compassion), dan harmoni, karena
dampaknya meluas jauh melampaui diri sendiri. Ia adalah kesadaran akan kesatuan
fundamental semua kehidupan. Namun, teosofi juga sangat waspada terhadap bahaya
"rumangsa bisa" dalam konteks pengetahuan spiritual. Teosofi
menekankan bahwa pengetahuan spiritual yang sejati bukan untuk dibanggakan,
bukan untuk menciptakan hierarki kesombongan, melainkan untuk melayani
kemanusiaan dan mendorong evolusi bersama. Mengklaim pemahaman esoteris yang
superior, merasa diri lebih maju secara spiritual, atau memandang rendah mereka
yang dianggap "belum tercerahkan" adalah manifestasi nyata dari
"rumangsa bisa" yang menjadi penghalang besar. Kesombongan spiritual,
menurut teosofi, mengeraskan hati, menutup pikiran, dan menghambat aliran
kebijaksanaan sejati. Ia adalah tanda bahwa ego masih menguasai sang individu,
meskipun mungkin terselubung dalam jubah spiritualitas. Teosofi mengajarkan
kerendahan hati intelektual dan spiritual yang dalam – pengakuan bahwa apa yang
kita ketahui hanyalah setetes dari samudera kebijaksanaan kosmis, dan bahwa
jalan pembelajaran serta pelayanan tidak pernah berakhir. "Aja rumangsa
bisa" menjadi prinsip disiplin diri yang esensial bagi para penekun jalan
teosofis, menjaga mereka agar tetap terbuka, belajar, dan melayani tanpa
pretensi.
Kekuatan abadi dari "bisa rumangsa aja rumangsa
bisa" justru semakin bersinar ketika diterangi tantangan kehidupan
modern. Dalam dunia pendidikan yang sering terjebak pada pengukuran
kuantitatif dan kompetisi, filosofi ini menawarkan paradigma yang menyejukkan
dan transformatif. "Bisa rumangsa" bagi seorang pendidik berarti
memiliki kepekaan mendalam untuk mengenali keunikan, potensi, dan kesulitan
setiap peserta didik. Ia adalah kemampuan untuk merasakan dinamika kelas,
memahami gaya belajar yang berbeda, dan menciptakan ruang yang aman dan
inklusif bagi pertumbuhan. Ini adalah pendidikan yang berpusat pada manusia,
bukan sekadar pada kurikulum atau nilai ujian. Bagi peserta didik, "bisa
rumangsa" berarti menyadari cara belajar terbaik bagi dirinya, mengenali
kelebihan dan kekurangan, serta mengembangkan rasa ingin tahu yang tulus.
Sebaliknya, pendidik yang "rumangsa bisa" – merasa sudah menguasai
semua metode, tidak perlu belajar hal baru, menolak masukan, atau merasa
pengetahuannya mutlak – akan menjadi penghalang bagi inovasi dan perkembangan
peserta didik. Demikian pula, peserta didik yang "rumangsa bisa" –
merasa sudah tahu segalanya, enggan mendengarkan, atau sombong dengan
kemampuannya – akan menutup diri dari kesempatan belajar yang sesungguhnya.
Filosofi Jawa ini mendorong budaya belajar sepanjang hayat (lifelong
learning) yang rendah hati dan penuh kesadaran.
Dalam ranah kepemimpinan, baik di organisasi,
perusahaan, maupun masyarakat luas, "bisa rumangsa aja rumangsa bisa"
adalah resep ampuh menciptakan kepemimpinan yang efektif, etis, dan
menginspirasi. Pemimpin yang "bisa rumangsa" adalah pemimpin yang
empatik. Ia memiliki kepekaan untuk merasakan denyut nadi organisasi, memahami
harapan, kekhawatiran, dan potensi anggota timnya. Ia tidak duduk di menara
gading, tetapi turun menyatu, mendengarkan secara aktif (active listening),
mengumpulkan perspektif yang beragam sebelum mengambil keputusan. Kepemimpinan
seperti ini adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership), yang
menempatkan kebutuhan tim dan tujuan bersama di atas ambisi pribadi. Kesadaran
diri yang dimilikinya mencegahnya dari tindakan impulsif atau otoriter.
Sebaliknya, pemimpin yang "rumangsa bisa" adalah gambaran klasik
pemimpin otoriter atau narsistik. Ia merasa paling tahu, paling benar, paling
mampu. Masukan dianggap ancaman, kritik dilihat sebagai pembangkangan. Ia
memutuskan sendiri, seringkali tanpa pertimbangan matang, dan memaksakan
kehendaknya. Kepemimpinan seperti ini mematikan kreativitas, merusak
kepercayaan, dan pada akhirnya menggali kuburnya sendiri karena menciptakan lingkungan
yang tidak sehat dan tidak kolaboratif. Kejatuhan banyak pemimpin bisnis atau
politik seringkali berakar pada sikap "rumangsa bisa" yang telah
mengeras menjadi arogansi. Filosofi Jawa ini mengingatkan bahwa kewenangan
tertinggi seorang pemimpin sejati bukan pada titel atau kekuasaan, tetapi pada
kemampuannya untuk menyadari (rumangsa) dan melayani dengan rendah hati
(aja rumangsa bisa).
Hubungan sosial dalam masyarakat modern yang
semakin individualis dan terkotak-kotak juga sangat membutuhkan minyak pelumas
"bisa rumangsa aja rumangsa bisa". "Bisa rumangsa" di sini
adalah inti dari empati. Ia adalah kemampuan untuk melangkah keluar
dari diri sendiri, berusaha memahami perasaan, perspektif, pengalaman, dan
kebutuhan orang lain. Dalam keluarga, ini berarti kepekaan terhadap perasaan
pasangan atau anak. Dalam pertemanan, ini berarti kesediaan mendengarkan dan
memahami tanpa selalu menghakimi. Dalam masyarakat yang plural, ini berarti
menghormati perbedaan dan berusaha mencari titik temu. Empati yang lahir dari
"bisa rumangsa" inilah yang membangun jembatan antarmanusia,
menciptakan rasa saling percaya, dan memupuk hubungan yang harmonis serta
saling mendukung. Sementara itu, "aja rumangsa bisa" adalah penjaga
agar empati itu tidak terkontaminasi oleh superioritas moral. Sikap merasa diri
lebih baik, lebih benar, lebih bermoral, atau lebih menderita dibandingkan
orang lain ("rumangsa bisa" dalam konteks moral atau victimhood)
adalah racun bagi hubungan sosial. Sikap seperti ini sering kali menjadi pemicu
konflik, penghakiman sepihak, dan polarisasi. Filosofi Jawa ini mengajarkan
kerendahan hati dalam interaksi sosial: menyadari bahwa kita semua adalah
manusia yang tidak sempurna, masing-masing berjuang dengan beban dan
tantangannya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak prerogatif
mutlak atas kebenaran atau kesempurnaan.
Era digital dan media sosial adalah medan
di mana filosofi ini relevansinya terasa begitu nyata dan mendesak. Ruang
digital sering kali menghilangkan konteks, mempertajam perbedaan, dan
memberikan ilusi anonimitas atau keberanian semu. Banyak pengguna media sosial
yang "rumangsa bisa" – merasa sangat mampu dan berhak memberikan
pendapat, kritik pedas, bahkan cacian, terhadap orang atau peristiwa yang
mungkin tidak mereka pahami sepenuhnya. Mereka menyebarkan informasi tanpa
verifikasi, terlibat dalam perundungan siber (cyberbullying), atau
memecah belah hanya karena merasa "bisa" dan "benar". Di
sinilah "bisa rumangsa" menjadi kebutuhan mendasar. Ia menuntut
pengguna media sosial untuk berhenti sejenak sebelum berkomentar atau
membagikan sesuatu. Apakah saya sudah memahami konteksnya sepenuhnya? Apakah
informasi ini valid? Apa dampak potensial dari kata-kata atau bagikan saya ini
terhadap orang atau kelompok lain? Apakah komentar ini didorong oleh keinginan
membangun atau hanya memuaskan ego? Kesadaran dan kepekaan batin (rumangsa)
ini adalah dasar untuk menciptakan etika digital. "Aja
rumangsa bisa" dalam konteks ini berarti tidak merasa paling tahu atau
paling berhak menghakimi di ruang publik digital, serta menyadari keterbatasan
pemahaman kita tentang narasi yang kompleks di balik sebuah unggahan atau
berita. Penerapan filosofi ini dapat membantu meredakan tensi, mengurangi
penyebaran hoaks, dan menciptakan ruang diskusi online yang lebih sehat,
konstruktif, dan penuh hormat.
Pada akhirnya, perjalanan spiritual manusia modern, yang
sering kali terfragmentasi dan mencari makna di tengah materialisme, menemukan
fondasi yang kokoh dalam "bisa rumangsa aja rumangsa bisa". Perjalanan
spiritual, dalam esensinya, adalah perjalanan kesadaran. "Bisa
rumangsa" menandai awal perjalanan itu: kesadaran akan adanya sesuatu yang
lebih besar dari diri kecil kita, kesadaran akan kerinduan batin (spiritual
longing), kesadaran akan kelemahan dan keterikatan kita. Ini adalah saat
"kebangkitan" spiritual. Namun, seiring perjalanan, setelah mengalami
pencapaian-pencapaian tertentu, meditasi yang dalam, atau wawasan-wawasan
spiritual, godaan "rumangsa bisa" menjadi sangat besar. Merasa diri
telah mencapai pencerahan, merasa lebih suci, merasa memiliki pengetahuan
rahasia yang tidak dimiliki orang lain – ini semua adalah jebakan ego yang
menyamar sebagai kemajuan spiritual. "Aja rumangsa bisa" adalah
peringatan abadi di jalan spiritual. Ia mengingatkan bahwa kesombongan
spiritual adalah kontradiksi dalam istilah; bahwa kebijaksanaan sejati selalu
disertai kerendahan hati yang mendalam; bahwa perjalanan spiritual adalah
proses penyempurnaan yang tiada akhir, bukan tujuan final yang bisa diklaim.
Filosofi Jawa ini mencerminkan prinsip universal yang ditemukan dalam semua
agama dan tradisi kebijaksanaan dunia: dari ajaran Yesus tentang orang Farisi
yang sombong secara spiritual, hingga ajaran Buddha tentang bahaya kemelekatan
pada pandangan, hingga ajaran Lao Tzu tentang kebijaksanaan yang tampak bodoh
di mata dunia. Ia adalah pengingat bahwa cahaya spiritual yang sejati tidak
menyilaukan dengan kesombongan, tetapi menyinari dengan kelembutan dan
kerendahan hati.
"Bisa rumangsa aja rumangsa bisa" adalah warisan
luhur yang tidak lekang oleh zaman. Ia adalah simpul kebijaksanaan yang
mengikat kesadaran diri yang mendalam dengan kerendahan hati yang tulus,
membentuk sikap hidup yang bertanggung jawab dan selaras. Dalam filsafat, ia
berdialog dengan pencarian kebenaran yang rendah hati dari Socrates dan para
pemikir agung lainnya. Dalam esoteris, ia menjadi kunci pembuka pintu
pengenalan diri dan penaklukan ego, jalan utama menuju pencerahan sejati. Dalam
teosofi, ia mengajarkan kesadaran akan mikrokosmos diri dalam harmoni dengan
makrokosmos semesta, menuntun pada tanggung jawab kosmis dan evolusi spiritual.
Di tengah kompleksitas, kecepatan, dan tantangan dunia modern – dalam
pendidikan yang sering kering empati, kepemimpinan yang rentan arogansi,
hubungan sosial yang rapuh, gelombang informasi digital yang kacau, dan
pencarian spiritual yang penuh distorsi – filosofi sederhana nan dalam ini
bagaikan oase di padang gurun. Ia mengajak kita untuk terus menerus
menyempurnakan seni "rumangsa": merasakan dengan peka, menyadari
dengan jernih, dan menghayati dengan penuh. Dan yang tak kalah penting, ia
mengingatkan kita untuk selalu "aja rumangsa bisa": menjaga diri agar
tidak tersesat dalam labirin keakuan yang membesar, selalu rendah hati di
hadapan luasnya misteri kehidupan dan keluasan pengetahuan semesta. Pada
hakikatnya, kebijaksanaan sejati bukanlah puncak gunung yang bisa didaki dan
diklaim, melainkan sebuah perjalanan menyusuri lembah kesadaran yang dalam, di
mana setiap langkah yang diayunkan dengan "bisa rumangsa aja rumangsa
bisa" membawa kita semakin dekat pada keselarasan diri, sesama, alam, dan
sumber segala kehidupan. Dalam kesadaran yang terus menyempurna dan kerendahan
hati yang teguh itulah, warisan kearifan Jawa ini menemukan keabadian dan
relevansinya yang tak terbantahkan, menjadi pedoman hidup yang tak ternilai
bagi siapa pun yang merindukan kehidupan yang bijaksana dan bermakna.
Referensi:
1. Filsafat Jawa & Kearifan Lokal
- Purwadi,
M. (2005). Etika & Moralitas dalam Filsafat Jawa.
Yogyakarta: Panji Pustaka.
(Membahas konsep "eling lan waspada" dan nilai-nilai kesadaran diri dalam budaya Jawa.) - Magnis-Suseno,
F. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
(Analisis mendalam tentang prinsip hidup Jawa, termasuk kerendahan hati dan kesadaran diri.) - Geertz,
C. (1976). The Religion of Java. University of Chicago
Press.
(Studi antropologis tentang nilai-nilai spiritual Jawa, termasuk konsep "rasa" dan "rumangsa".)
2. Filsafat Barat (Socrates, Stoik, dll.)
- Plato.
(380 SM). Apology (Apologi Sokrates).
(Sumber utama tentang pernyataan Socrates: "Aku tahu bahwa aku tidak tahu.") - Hadot,
P. (1995). Philosophy as a Way of Life. Wiley-Blackwell.
(Membahas praktik kesadaran diri dan kerendahan hati dalam tradisi Stoik dan Hellenistik.)
3. Esoterisme (Sufisme, Kabbalah, Buddhisme, dll.)
- Al-Ghazali.
(Abad ke-11). Ihya Ulumuddin (Kitab Kebangkitan
Ilmu-Ilmu Agama).
(Membahas muhasabah (introspeksi diri) dalam tradisi Sufi.) - Scholem,
G. (1946). Major Trends in Jewish Mysticism. Schocken
Books.
(Membahas konsep pengenalan diri dalam Kabbalah.) - Dalai
Lama. (1995). The World of Tibetan Buddhism. Wisdom
Publications.
(Penjelasan tentang anatta (tanpa-diri) dan bahaya ego dalam Buddhisme.)
4. Teosofi & Spiritualitas Kosmis
- Blavatsky,
H.P. (1888). The Secret Doctrine. Theosophical Publishing
House.
(Membahas mikrokosmos-makrokosmos, karma, dan evolusi spiritual.) - Krishnamurti,
J. (1954). The First and Last Freedom. HarperOne.
(Pentingnya kesadaran diri tanpa ego dalam pencarian kebenaran.)
5. Aplikasi Modern (Kepemimpinan, Pendidikan, Digital)
- Goleman,
D. (1995). Emotional Intelligence. Bantam Books.
(Relevansi kesadaran diri dan empati dalam kepemimpinan & pendidikan.) - Turkle,
S. (2015). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a
Digital Age. Penguin Books.
(Etika komunikasi di era digital, relevan dengan "bisa rumangsa" di media sosial.)
Comments
Post a Comment