Keberadaan Kejahatan


Pertanyaan tentang keberadaan kejahatan dalam semesta yang konon diciptakan dan diatur oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Mahakuasa merupakan salah satu teka-teki filosofis dan teologis yang paling dalam dan mengganggu dalam sejarah pemikiran manusia. Dilema ini memaksa akal budi untuk berhadapan dengan kontradiksi yang tampak nyata: bagaimana mungkin kejahatan – dalam segala bentuk penderitaan, ketidakadilan, dan kerusakan – bisa eksis di bawah kedaulatan Tuhan yang sempurna? Agama-agama tradisional telah berjuang menjawabnya melalui bidang studi bernama teodisi, namun seringkali menemui jalan buntu. Jika Tuhan itu Mahakuasa dan Mahatahu, maka kejahatan pasti berasal dari-Nya atau setidaknya diizinkan-Nya; jika tidak, maka kejahatan memerlukan sumber independen yang terpisah dan setara, menciptakan dualitas ketuhanan yang tak terelakkan. Konsep semacam ini ditolak mentah-mentah oleh agama-agama monoteistik besar. Ketegangan ini bahkan tercermin dalam kitab suci mereka sendiri, seperti dalam Alkitab Kristen, di mana ayat-ayat seperti Yesaya 45:7 ("Akulah yang menjadikan damai sejahtera dan menciptakan malapetaka") dan Amos 3:6 ("Adakah malapetaka terjadi di suatu kota tanpa Tuhan yang melakukannya?") secara eksplisit menghubungkan kejahatan (dalam bentuk malapetaka) dengan tindakan Tuhan, sementara naratif lain mengaitkannya dengan kekuatan otonom seperti Setan.

Dalam menghadapi kebuntuan filosofis dan teologis ini, Teosofi, sebuah sistem pemikiran esoteris yang dikembangkan terutama oleh Helena Petrovna Blavatsky di akhir abad ke-19, menawarkan perspektif yang radikal dan berbeda. Berakar pada tradisi kebijaksanaan kuno yang dianggapnya universal (Sanatana Dharma), Teosofi mendekati masalah kejahatan tidak melalui pembenaran Tuhan, melainkan melalui pemahaman mendalam tentang hakikat alam semesta, evolusi kesadaran, dan tanggung jawab mutlak manusia. Melalui karya utama seperti The Secret Doctrine karya Blavatsky dan The Mahatma Letters to A.P. Sinnett (korespondensi yang diklaim berasal dari Guru Kebijaksanaan Timur), Teosofi membedah masalah ini dengan menolak premis dasar dari dilema tradisional sekaligus menempatkan beban moral secara tegas di pundak umat manusia.

Langkah pertama yang krusial dalam pendekatan teosofis adalah pengakuan bahwa istilah "kejahatan" itu sendiri ambigu dan sering digunakan dalam dua konteks yang sangat berbeda, namun kerap tercampur aduk. Konteks pertama adalah apa yang disebut kejahatan alami atau kosmik. Ini merujuk pada fenomena yang dianggap jahat atau menimbulkan penderitaan yang melekat pada struktur alam semesta itu sendiri: bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, siklus hidup dan mati yang tak terhindarkan, predator yang memangsa mangsa, penyakit, dan kematian fisik. Konteks kedua adalah kejahatan manusia, yang muncul secara eksklusif dari kehendak bebas, niat, pilihan, dan tindakan manusia: peperangan, pembunuhan, penindasan, pencurian, kebohongan, keserakahan, kebencian, dan segala bentuk kekejaman yang disengaja oleh satu manusia terhadap manusia lain atau terhadap makhluk lain.

Teosofi, sebagaimana diuraikan dalam literaturnya, mengambil sikap yang sangat berbeda terhadap kedua konteks ini. Pada tingkat kosmik, keberadaan kejahatan sebagai entitas atau prinsip mandiri ditolak secara tegas. Alam semesta yang termanifestasi, menurut Teosofi, pada hakikatnya bersifat dualistis. Dualitas ini bukan pertentangan antara kebaikan mutlak dan kejahatan mutlak, melainkan antara pasangan-pasangan prinsip yang saling melengkapi dan diperlukan untuk adanya manifestasi: Roh (Spirit) dan Materi, Cahaya dan Kegelapan, Daya Tarik dan Daya Tolak, Subyektif dan Obyektif, Pengepakan dan Pencairan (condensation and dissolution). Kegelapan dalam pengertian kosmik bukanlah simbol moral kejahatan, melainkan sekadar ketiadaan cahaya atau keadaan potensi yang belum termanifestasi. Proses di mana galaksi terbentuk dan hancur, bintang lahir dan mati, gunung meletus, atau sel-sel dalam tubuh hidup dan mati, dipandang sebagai bagian integral dari siklus kehidupan kosmis yang agung. Ini adalah "hukum keharusan" (law of necessity) yang bekerja secara mekanis, impersonal, dan netral secara moral. Menyebut gempa bumi atau kematian alami seekor rusa sebagai "jahat" sama kelirunya dengan menyebut gravitasi yang membuat apel jatuh sebagai jahat. Alam, dalam pandangan ini, tidak memiliki niat baik atau buruk; ia hanya beroperasi sesuai dengan hukum-hukumnya yang abadi dan tak berubah. Seperti diungkapkan oleh Mahatma Koot Hoomi dalam The Mahatma Letters: "Kejahatan tidak memiliki eksistensi sejati (per se). Kejahatan hanyalah ketiadaan kebaikan, dan hanya dirasakan sebagai kejahatan oleh korbannya. Alam itu sendiri tidak baik atau jahat; ia hanya mengikuti hukum-hukum yang tidak berubah... Oleh karena itu, alam tidak bisa disebut jahat." Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah penolakan terhadap gagasan bahwa Tuhan, sebagai Prinsip Tertinggi yang impersonal dan tak termanifestasi (Parabrahm dalam terminologi Teosofi), dapat menjadi sumber kejahatan kosmik. Kejahatan kosmik sebagai entitas mandiri tidak ada; yang ada hanyalah proses alamiah yang mungkin dipersepsikan sebagai jahat oleh kesadaran yang menderita karenanya.

Namun, penolakan terhadap kejahatan kosmik sebagai prinsip mandiri tidak berarti Teosofi menutup mata terhadap realitas penderitaan yang muncul dari proses kosmis tersebut. Di sinilah perbedaan persepsi menjadi kunci. Penderitaan yang diakibatkan oleh hukum alam yang impersonal (misalnya, seorang anak yang meninggal karena penyakit) adalah fakta pengalaman yang nyata dan menyakitkan. Teosofi tidak berusaha menyangkal rasa sakit ini. Yang ditolak adalah pelabelan moral "jahat" pada hukum alam itu sendiri. Penjelasan atas penderitaan semacam ini dalam Teosofi ditemukan dalam doktrin-doktrin seperti Karma dan Reinkarnasi, yang akan dibahas kemudian, yang menempatkannya dalam konteks evolusi jiwa yang lebih luas melintasi banyak kehidupan.

Titik balik yang menentukan, di mana konsep "kejahatan" benar-benar menemukan makna moralnya, adalah dengan munculnya kesadaran diri dan kehendak bebas pada manusia. Inilah domain kejahatan manusia. Menurut Teosofi, sebelum kebangkitan penuh prinsip Manas (pikiran, kecerdasan, dan kehendak bebas) dalam umat manusia, makhluk-makhluk hidup – baik tumbuhan, hewan, maupun manusia purba yang belum berkembang – beroperasi terutama berdasarkan insting dan hukum alam. Mereka bertindak sesuai dengan dorongan alamiah tanpa refleksi diri atau pilihan moral yang sadar. Dalam keadaan ini, meskipun kekerasan dan kematian terjadi (seperti singa memangsa rusa), tidak ada "kejahatan" dalam pengertian moral karena tidak ada niat jahat atau kesadaran akan alternatif yang lebih baik. Blavatsky menyebut masa ini sebagai kondisi "tanpa dosa" (sinless) dari umat manusia awal.

Kebangkitan prinsip Manas ini, menurut narasi Teosofi yang didasarkan pada tradisi esoteris, terjadi melalui intervensi para Manasaputra (secara harfiah "Putra-Putra Pikiran"). Mereka adalah entitas rohani yang lebih maju, sering diidentikkan dengan "Malaikat" atau "Dhyan Chohan" dalam tradisi Timur, yang "mencurahkan" atau mengorbankan sebagian dari esensi kesadaran tinggi mereka untuk membangkitkan potensi mental-spiritual dalam benih-benih manusia purba. Peristiwa kosmik-evolusioner yang monumental ini disimbolkan dalam berbagai mitos dunia: memakan buah Pohon Pengetahuan tentang Yang Baik dan Yang Jahat dalam Kitab Kejadian, pemberian api oleh Prometheus kepada manusia dalam mitologi Yunani, dan kisah-kisah serupa dalam tradisi lain. Api di sini melambangkan cahaya kecerdasan, kesadaran diri, dan kemampuan untuk membedakan (discernment).

Namun, hadiah yang mulia ini memiliki sisi gelap yang tak terhindarkan. Blavatsky, dalam The Secret Doctrine, berulang kali menegaskan bahwa kebangkitan kecerdasan ini terjadi "terlalu dini" dalam skema evolusi. Tubuh fisik dan alam emosional (astral) manusia belum cukup murni atau stabil untuk menopang sepenuhnya percikan kesadaran tinggi yang baru saja dianugerahkan. Akibatnya, "hadiah" itu menjadi "kutukan". Intelek yang baru terbangun, yang belum diimbangi oleh perkembangan spiritual dan kebijaksanaan yang memadai, dengan mudah disesatkan dan dikuasai oleh sifat-sifat rendah manusia: keinginan pribadi (kama), egoisme, keserakahan, ambisi buta, dan nafsu. Inilah akar dari kejahatan manusia yang sejati. Simbolisme kutukan terhadap Ular (simbol kebijaksanaan dan pembangkit kesadaran) dalam Kejadian dan hukuman Zeus terhadap Prometheus mencerminkan konsekuensi tragis dari ketidakseimbangan evolusioner ini. Blavatsky menulis: "Evolusi spiritual tidak mampu mengikuti evolusi fisik, sehingga hadiah ini menjadi penyebab utama, jika bukan satu-satunya, kejahatan" (SD II:421). Jadi, kejahatan manusia bukanlah ciptaan Tuhan atau prinsip kosmis yang mandiri, melainkan produk sampingan yang menyedihkan dari kebangkitan kesadaran diri yang prematur dan penyalahgunaannya oleh ego manusia yang belum matang.

Mahatma Koot Hoomi, dalam surat-suratnya, memberikan analisis yang lebih rinci tentang mekanisme kejahatan manusia. Ia menegaskan kembali: "Kejahatan sejati berasal dari kecerdasan manusia, dan asal-usulnya sepenuhnya terletak pada manusia yang memisahkan dirinya dari alam." Pernyataan ini sangat penting. Manusia, dengan kehendak bebas dan inteleknya, menjadi "satu-satunya agen bebas di alam". Hewan bertindak berdasarkan insting dan kebutuhan alamiah; hukum kosmis bekerja secara mekanis. Hanya manusia yang memiliki kemampuan untuk memilih secara sadar melawan arus harmoni alam dan hukum moral yang lebih dalam (yang dalam Teosofi terkait dengan hukum karma dan kebajikan universal). Koot Hoomi menggambarkan kejahatan bukan sebagai lawan mutlak dari kebaikan, melainkan sebagai "bentuk yang berlebihan dari kebaikan". Ambisi, misalnya, bisa menjadi pendorong kemajuan, tetapi ketika berlebihan dan diwarnai egoisme, ia berubah menjadi keserakahan dan penindasan. Cinta terhadap kelompok sendiri bisa menjadi ikatan sosial, tetapi dalam bentuk berlebihannya menjadi fanatisme dan kebencian terhadap kelompok lain. Bahkan kebutuhan dasar seperti makanan, seks, dan istirahat, ketika dikejar secara berlebihan dan tanpa kendali (ekses), menjadi sumber penyakit dan penderitaan. Mahatma menyatakan bahwa alam menghendaki manusia mati secara alami karena usia tua, seperti hewan liar atau manusia primitif (kecuali kecelakaan). Namun, gaya hidup tidak seimbang yang diciptakan oleh nafsu dan ambisi egois manusia menghasilkan penyakit dan kematian dini.

Lebih lanjut, Koot Hoomi menyoroti sumber kejahatan manusia yang sangat signifikan namun sering diabaikan: agama yang terdistorsi dan takhayul. Dia membuat pernyataan yang mengejutkan: "sekitar sepertiga dari kejahatan yang kita lihat berasal dari tindakan manusia, tetapi dua pertiga dari kejahatan yang melanda umat manusia berasal dari agama dan ilusi serta takhayul yang diciptakannya." Agama, ketika didasarkan pada klaim kebenaran eksklusif, dogma yang kaku, dan interpretasi literal atas mitos dan simbol, menjadi mesin penghasil perpecahan, fanatisme, dan kebencian. Ia menciptakan "beban" bagi umat manusia, seperti sistem kasta di India yang menurutnya telah menindas selama dua ribu tahun untuk keuntungan segelintir Brahmana. Dia mengutuk contoh di mana petani miskin di Irlandia, Italia, atau wilayah Slavia rela kelaparan demi memberi makan dan mendandani pendeta mereka. Konflik berdarah antar pengikut Kristus dan Muhammad, atas nama "mitos mereka masing-masing", dilihatnya sebagai bukti nyata kejahatan yang bersumber dari agama yang terdistorsi. Dia menyerukan: “Jumlah penderitaan manusia tidak akan berkurang sampai hari di mana mayoritas umat manusia menghancurkan altar dewa-dewa palsu mereka atas nama kebenaran, moralitas, dan kasih universal” (ML, hlm. 274-75). "Dewa-dewa palsu" di sini merujuk pada konsep Tuhan yang antropomorfik, pemarah, pilih kasih, dan eksklusif yang dipropagandakan oleh agama-agama dogmatis, bukan pada Prinsip Ilahi Tertinggi yang impersonal. Kejahatan besar, menurut pandangan ini, muncul ketika kecerdasan manusia yang begas digunakan untuk menciptakan sistem kepercayaan yang membelenggu pikiran, mengeksploitasi ketakutan, dan memecah belah umat manusia, semua atas nama yang Ilahi.

Blavatsky, dalam The Secret Doctrine, memperkuat pandangan ini sambil memberikan kerangka filosofis yang lebih luas tentang hubungan antara Baik dan Jahat. Dia menolak konsep malum in se (kejahatan pada dirinya sendiri). Bagi Blavatsky, kejahatan dan kebaikan adalah relatif, saling bergantung, dan tak terpisahkan dalam dunia manifestasi. Satu tidak dapat ada tanpa yang lain. "Tidak ada malum in se; hanya bayangan dari cahaya, tanpa itu cahaya tidak akan ada bahkan dalam persepsi kita. Jika kejahatan lenyap, kebaikan juga akan hilang dari bumi" (SD I:413). Bayangan hanya ada karena ada cahaya; konsep "dingin" hanya bermakna karena ada "panas". Demikian pula, kita mengenal "baik" hanya karena kita mengalami "buruk" atau "kurang baik". Dia menggambarkan mereka sebagai "saudara kembar, anak dari Ruang dan Waktu, di bawah pengaruh Maya. Pisahkan mereka, dengan memotong satu dari yang lain, dan keduanya akan mati. Keduanya harus diciptakan dari yang lain untuk datang ke dalam keberadaan; keduanya harus dikenal dan dihargai sebelum menjadi objek persepsi" (SD II:96). Dualitas Baik dan Jahat adalah ilusi (Maya) dari dunia fenomenal, suatu permainan kesadaran dalam Ruang dan Waktu. Dalam Kesadaran Mutlak yang melampaui manifestasi, dualitas ini lenyap. Namun, dalam dunia relatif di mana kita hidup, keduanya adalah aspek yang tak terelakkan dari pengalaman dan evolusi.

Legenda tentang "Malaikat yang Jatuh" (atau Iblis), yang sering dianggap sebagai sumber kejahatan eksternal dalam teologi tradisional, ditafsirkan ulang secara radikal oleh Teosofi. Blavatsky menyatakan tegas: "Tidak ada Iblis, tidak ada Kejahatan di luar umat manusia untuk menciptakan Iblis" (SD II:389). Kisah "kejatuhan" bukanlah pemberontakan makhluk supernatural terhadap Tuhan, melainkan simbol dari peristiwa evolusioner yang telah dibahas: inkarnasi para Manasaputra (yang bisa disebut "Malaikat") ke dalam alam materi manusia yang belum siap, sehingga "menjatuhkan" mereka ke dalam keterikatan dan ilusi duniawi. "Kejahatan" yang mereka perkenalkan bukanlah dosa bawaan, melainkan potensi untuk kesalahan yang muncul dari kebebasan dan kecerdasan yang diberikan, yang kemudian diaktualisasikan oleh manusia itu sendiri melalui egoismenya. Iblis, dalam pandangan ini, hanyalah personifikasi dari kecenderungan egois dan rendah dalam diri manusia, bukan entitas independen.

Dalam menghadapi realitas penderitaan dan ketidakadilan yang tampak mengerikan dalam kehidupan – baik yang berasal dari proses kosmis yang netral maupun (terutama) dari kejahatan manusia – Teosofi menawarkan dua doktrin utama sebagai penjelasan dan sekaligus solusi: Karma dan Reinkarnasi. Blavatsky menekankan bahwa tanpa doktrin-doktrin ini, "masalah misterius tentang Kebaikan dan Kejahatan" tidak dapat didamaikan dengan pengalaman hidup yang penuh ketidakadilan (SD II:303).

Karma (Hukum Sebab-Akibat Moral): Ini adalah hukum universal yang impersonal dan adil yang mengatur konsekuensi dari setiap pikiran, kata, dan perbuatan. Ini bukanlah "takdir" atau "hukuman" dari Tuhan, melainkan prinsip alamiah seperti gravitasi, tetapi bekerja di ranah moral dan spiritual. Setiap kejahatan yang dilakukan oleh seorang individu, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri (melalui ekses dan ketidakseimbangan), menciptakan sebab yang pada akhirnya akan menghasilkan akibat yang setara bagi pelakunya, baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang. Demikian pula, kebaikan menghasilkan buah kebahagiaan dan kemajuan. Karma menjelaskan mengapa penderitaan tampak menimpa orang yang "tidak bersalah": itu bisa jadi akibat dari tindakan dalam kehidupan lampau yang belum matang. Ini juga menjelaskan mengapa para penjahat terkadang tampak makmur: buah karma baik masa lalu mereka masih dinikmati, sementara buah karma buruk mereka belum matang. Hukum Karma menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada individu. Tidak ada Tuhan yang menghukum atau Setan yang menggoda; manusia menuai apa yang ia tabur, melintasi banyak kehidupan. Doktrin ini memberikan landasan rasional bagi keadilan kosmis yang tampak absen dalam pandangan sekuler atau dalam teologi yang hanya mengenal satu kehidupan.

Reinkarnasi (Kelahiran Kembali): Ini adalah mekanisme yang memungkinkan hukum Karma bekerja sepenuhnya dan memberikan kesempatan bagi jiwa untuk belajar dan berkembang. Satu kehidupan manusia terlalu pendek untuk mengalami semua konsekuensi karma dan terlalu singkat untuk mencapai kesempurnaan spiritual. Melalui serangkaian kelahiran kembali, jiwa (Ego yang berevolusi) secara bertahap mengumpulkan pengalaman, mengatasi kelemahan, membayar hutang karma, dan mengembangkan kebijaksanaan serta welas asih. Penderitaan yang dialami, baik dari sebab kosmis maupun kejahatan manusia, dilihat bukan sebagai hukuman acak, tetapi sebagai pelajaran yang diperlukan bagi pertumbuhan jiwa. Reinkarnasi menjelaskan perbedaan nasib sejak lahir (kesehatan, kekayaan, bakat, lingkungan) sebagai hasil dari tindakan dan pilihan di kehidupan sebelumnya. Bersama Karma, doktrin ini memberikan kerangka waktu yang luas bagi evolusi spiritual individu, mengubah narasi "kejahatan" dan "penderitaan" dari tragedi yang tak bermakna menjadi tantangan dalam perjalanan pembelajaran yang panjang menuju pencerahan.

Perspektif Teosofi tentang kejahatan pada akhirnya adalah seruan yang kuat kepada tanggung jawab dan potensi manusia. Dengan menolak keberadaan kejahatan sebagai prinsip kosmis yang mandiri atau sebagai ciptaan Tuhan, dan dengan menolak Iblis sebagai entitas eksternal yang bertanggung jawab, Teosofi menempatkan beban moral sepenuhnya di pundak umat manusia. Kita adalah sumber utama kejahatan di dunia ini melalui egoisme, ketidaktahuan, keserakahan, kebencian, dan fanatisme kita. Simbolisme Eden dan Prometheus bukanlah kisah tentang dosa bawaan yang diwariskan, melainkan alegori tentang kebangkitan kesadaran dan kebebasan yang membawa serta risiko besar: risiko menyalahgunakan hadiah itu.

Namun, Teosofi tidak berhenti pada diagnosis yang suram. Dengan doktrin Karma dan Reinkarnasi, ia memberikan kerangka yang koheren untuk memahami ketidakadilan dan penderitaan, bukan sebagai bukti ketiadaan Tuhan atau kekejaman-Nya, tetapi sebagai konsekuensi alami dari tindakan kita sendiri dalam skala waktu evolusi yang luas. Dualitas Baik dan Jahat yang kita alami adalah permukaan yang diperlukan untuk pembelajaran jiwa dalam dunia manifestasi. Tantangannya adalah untuk melampaui dualitas ini melalui pengembangan kebijaksanaan (Buddhi) dan kesadaran spiritual yang lebih tinggi, yang memungkinkan kita menggunakan kehendak bebas dan kecerdasan kita secara harmonis dengan hukum kosmos dan demi kebaikan semua.

Pandangan ini juga menuntut sikap kritis terhadap struktur kepercayaan, terutama agama dogmatis, yang menurut Teosofi telah menjadi sumber utama penderitaan dan perpecahan manusia. Seruan untuk "menghancurkan altar dewa-dewa palsu" bukanlah seruan ateisme, tetapi seruan untuk meninggalkan konsep Tuhan yang antropomorfik, pemarah, dan eksklusif, serta menggantinya dengan pemahaman tentang Prinsip Ilahi yang impersonal, hukum moral universal (Karma), dan kasih universal yang melampaui batas-batas sektarian.

Dengan demikian, Teosofi menawarkan resolusi terhadap dilema teodisi tradisional bukan dengan membenarkan Tuhan, tetapi dengan menggeser fokusnya. Kejahatan bukanlah masalah teologis yang harus diselesaikan untuk membela karakter Tuhan; ia adalah masalah manusiawi yang harus diatasi melalui pemahaman diri, pengendalian ego, penerapan kebijaksanaan, dan pengakuan terhadap hukum universal Karma dan kelahiran kembali. Dalam kosmos yang netral secara moral, di mana "kejahatan" kosmis hanyalah hukum alam yang bekerja, dan kejahatan manusia adalah hasil dari kebebasan kita yang disalahgunakan, masa depan evolusi spiritual umat manusia – dan pengurangan penderitaan di bumi – sepenuhnya bergantung pada pilihan-pilihan yang kita buat hari ini, dalam terang kesadaran yang telah, meskipun prematur, diberikan kepada kita.

Sumber Primer Teosofi:

  1. Blavatsky, H.P.
    • The Secret Doctrine (1888), Vol. I & II
      • Kutipan tentang dualitas baik dan jahat (SD I:413; SD II:96, 389, 421).
      • Pembahasan Manasaputra, alegori Eden, dan Prometheus.
      • Doktrin Karma dan Reinkarnasi (SD II:303).
    • The Key to Theosophy (1889) – untuk penjelasan lebih sederhana tentang konsep teosofis.
  2. The Mahatma Letters to A.P. Sinnett (1923, disusun oleh A.T. Barker)
    • Surat dari Mahatma K.H. (Koot Hoomi) tentang:
      • Kejahatan sebagai hasil kecerdasan manusia (hlm. 274-275).
      • Kritik terhadap agama dogmatis dan takhayul.
      • Penyebab penyakit dan penderitaan akibat ekses manusia.
  3. Alkitab (Referensi Silang untuk Konteks Agama Tradisional)
    • Yesaya 45:7 – Tuhan sebagai sumber "damai dan malapetaka".
    • Amos 3:6 – Malapetaka sebagai bagian dari kehendak Tuhan.
    • Kejadian 3 – Alegori buah pengetahuan dan "kejatuhan".

Sumber Sekunder & Pendukung:

  1. Studi tentang Teodisi dan Filsafat Agama:
    • John HickEvil and the God of Love (1966) – Analisis teodisi tradisional vs. pandangan esoteris.
    • PlotinusEnneads – Konsep Neoplatonis tentang kejahatan sebagai "ketiadaan" (mirip dengan pandangan Mahatma Letters).
  2. Esoterisisme Barat & Timur:
    • Gershom ScholemMajor Trends in Jewish Mysticism (1941) – Perbandingan dengan Kabbalah tentang dualitas ilahi.
    • Swami VivekanandaVedanta Philosophy – Konsep Maya dan relativitas baik-jahat dalam Advaita Vedanta.
  3. Kritik terhadap Agama Institusional:
    • VoltaireCandide (1759) – Kritik atas teodisi optimistik Leibniz, relevan dengan kritik Teosofi terhadap dogma.


Comments