Periode transisi dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak merupakan momen krusial dalam sejarah Nusantara yang tidak hanya menandai pergeseran kekuasaan politik, tetapi juga merefleksikan dinamika spiritual, filsafat, dan pandangan dunia yang lebih dalam. Perubahan ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan interaksi kompleks antara tradisi Hindu-Buddha yang mengakar dan ajaran Islam yang mulai menyebar. Jika ditelisik melalui lensa filsafat, esoteris, dan theosofi, transisi ini terungkap sebagai perjalanan evolusi spiritual masyarakat Nusantara, di mana nilai-nilai lama berpadu dengan kebijaksanaan baru untuk menciptakan harmoni yang lebih luas.
Dalam konteks filsafat, Majapahit mewakili paradigma kosmos Hindu-Buddha yang memandang alam semesta sebagai kesatuan hierarkis antara manusia, alam, dan dewa-dewa. Konsep Tri Hita Karana—harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam—menjadi landasan tatanan sosial dan spiritual kerajaan. Raja, sebagai dewa-raja, dipandang sebagai penjaga keseimbangan mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta), mencerminkan keyakinan bahwa kekuasaan politik tidak terpisah dari tanggung jawab spiritual. Struktur ini terlihat dalam arsitektur candi yang simbolis, ritual keagamaan, dan sistem pemerintahan yang mengikat rakyat dengan konsep bhakti (pengabdian) kepada penguasa sekaligus kepada kosmos.
Namun, ketika Demak muncul sebagai kekuatan baru bercorak Islam, paradigma ini mengalami transformasi mendasar. Islam memperkenalkan konsep tauhid—keesaan Tuhan—yang menekankan kesetaraan manusia di hadapan Sang Pencipta. Hierarki kosmik Hindu-Buddha, meski tidak sepenuhnya hilang, mulai digantikan oleh pandangan yang lebih egaliter. Raja atau sultan tidak lagi dianggap sebagai penjelmaan dewa, melainkan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab menjalankan syariat dan keadilan ilahi. Pergeseran ini mengubah cara masyarakat memandang otoritas, dari yang bersifat sakral-transendental menjadi lebih etis-sosial.
Meski demikian, perubahan ini tidak bersifat dikotomis. Filsafat Jawa yang sinkretis memungkinkan tradisi Hindu-Buddha bertahan dalam bentuk baru. Wayang kulit, misalnya, tetap menjadi medium penting untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan spiritual. Meskipun ceritanya berasal dari epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana, para dalang—terutama yang dipengaruhi Wali Songo—menyisipkan ajaran Islam tentang keadilan, kesabaran, dan ketauhidan. Tokoh Punakawan seperti Semar, yang dalam tradisi Jawa dianggap sebagai simbol kebijaksanaan lokal, diadaptasi sebagai representasi rakyat biasa yang berinteraksi dengan tokoh protagonis berlatarbelakang ksatria. Proses adaptasi ini menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara tidak menolak tradisi lama, melainkan memaknainya ulang melalui prinsip-prinsip universal yang relevan dengan konteks baru.
Dari sudut pandang esoteris, transisi ini dapat dipahami sebagai pergeseran energi spiritual kolektif. Dalam tradisi mistis Jawa, kerajaan sering dihubungkan dengan konsep cakra—pusat energi yang memengaruhi kesadaran masyarakat. Majapahit, sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang kuat, diasosiasikan dengan cakra muladhara, yang merepresentasikan stabilitas, materialitas, dan keterikatan pada tanah. Keruntuhannya tidak hanya menandai akhir sebuah era politik, tetapi juga pelepasan energi kolektif dari keterikatan pada bentuk-bentuk material menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Kebangkitan Demak sebagai kesultanan Islam kemudian diinterpretasikan sebagai manifestasi cakra ajna, pusat energi yang terkait dengan intuisi dan visi spiritual. Ajaran Islam yang dibawa Wali Songo—khususnya melalui tradisi tasawuf—menekankan penyucian diri (tazkiyatun nafs) dan pencarian kedekatan dengan Tuhan (ma’rifat). Konsep fana’ (peleburan diri) dan baqa’ (kekekalan dalam Tuhan) dalam tasawuf sejalan dengan tradisi mistik Jawa sebelumnya, seperti pencarian manunggaling kawula-Gusti (penyatuan hamba dengan Tuhan). Raden Patah, pendiri Demak, dalam narasi esoteris dipandang sebagai figur yang mengintegrasikan kekuatan duniawi dan spiritual. Legenda tentang asal-usulnya yang menghubungkan garis keturunan Majapahit (Brawijaya) dengan darah Islam (putri Campa) menjadi simbol rekonsiliasi antara dua tradisi besar.
Peran Wali Songo sendiri tidak bisa dilepaskan dari dimensi esoteris ini. Mereka tidak hanya sebagai juru dakwah, tetapi juga sebagai shaykh sufi yang menguasai ilmu spiritual. Sunan Kalijaga, misalnya, dikenal melalui kisah pertapaannya di hutan dan dialognya dengan Sunan Bonang tentang hakikat kehidupan. Pendekatan mereka yang menggunakan media seni—seperti tembang, wayang, dan ukiran—menunjukkan pemahaman mendalam tentang semesta simbol dalam kebudayaan Jawa. Seni menjadi jalan untuk mentransmisikan energi spiritual Islam tanpa menghancurkan struktur simbolis yang telah ada.
Dalam kerangka theosofi, yang mencari titik temu segala tradisi spiritual, transisi Majapahit-Demak dilihat sebagai bagian dari siklus evolusi manusia menuju kesadaran universal. Theosofi percaya bahwa setiap zaman membawa kebenaran sesuai tingkat kesadaran masyarakatnya. Majapahit, dengan kompleksitas mitologi dan ritualnya, merepresentasikan fase di mana manusia masih terikat pada simbol-simbol fisik untuk memahami yang transenden. Sementara Demak, dengan penekanan pada keesaan Tuhan dan kesederhanaan ibadah, mencerminkan lompatan menuju penyatuan yang lebih langsung dengan sumber segala keberadaan.
Namun, theosofi juga mengajarkan bahwa kebenaran bersifat abadi dan muncul dalam berbagai bentuk. Ritual slametan, misalnya, adalah contoh bagaimana tradisi Hindu-Buddha (seperti sesajen dan doa untuk leluhur) diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam (pembacaan ayat Al-Qur’an dan niat bersedekah). Dalam slametan, masyarakat tidak hanya merayakan kehidupan tetapi juga mengakui interdependensi antara manusia, alam, dan Tuhan—sebuah prinsip yang sejalan dengan Tri Hita Karana maupun tauhid. Harmoni ini menunjukkan bahwa esensi spiritual Nusantara tidak pernah benar-benar terputus, meski bentuk luarnya berubah.
Simbolisme arsitektur juga menjadi cermin transformasi ini. Candi-candi Majapahit, seperti Penataran atau Brahu, dibangun dengan struktur vertikal yang mengarah ke langit, melambangkan perjalanan manusia menuju penyatuan dengan dewata. Reliefnya yang detail bercerita tentang epik kosmis dan kehidupan setelah kematian. Sebaliknya, Masjid Agung Demak dirancang dengan kesederhanaan, menekankan fungsi sebagai ruang berkumpulnya umat dalam kesetaraan. Atap tumpang tiga masjid ini bukan hanya elemen estetis, tetapi juga simbol tiga tingkatan spiritual: syariat (hukum), tarekat (jalan), dan hakikat (esensi). Perbedaan arsitektur ini tidak berarti pertentangan, melainkan perbedaan penekanan dalam mengekspresikan hubungan manusia dengan yang ilahi.
Proses adaptasi budaya yang dilakukan Wali Songo menjadi kunci sukses transisi ini. Mereka tidak memaksakan perubahan radikal, tetapi membangun jembatan antara tradisi lama dan baru. Sunan Giri, misalnya, menciptakan permainan anak seperti jentik-jentikan (permainan biji-bijian) yang mengandung nilai matematika dan etika. Sunan Drajat mengajarkan prinsip menehana teken marang wong kang wuta (berikan tongkat pada yang buta) sebagai seruan keadilan sosial. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Islam yang berkembang di Jawa bukanlah Islam yang tertutup, melainkan yang dialogis—mengakui bahwa kebenaran bisa ditemukan dalam berbagai bentuk selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar.
Dimensi spiritual kolektif masyarakat Jawa juga terlihat dalam konsep keblat papat lima pancer, yang menggambarkan keseimbangan antara empat arah mata angin dan pusat sebagai poros. Konsep ini, yang awalnya terkait dengan kepercayaan lokal dan Hindu-Buddha, diadaptasi dalam Islam Jawa dengan menjadikan Allah sebagai pancer (pusat). Hal ini mencerminkan fleksibilitas spiritual masyarakat yang mampu mempertahankan kerangka kosmologis lama sambil mengisinya dengan makna baru.
Keruntuhan Majapahit dan kebangkitan Demak, dalam perspektif ini, bukanlah akhir dari suatu peradaban, melainkan metamorfosis menuju bentuk yang lebih sesuai dengan zaman. Masyarakat Nusantara, melalui daya lentur budayanya, menunjukkan kemampuan untuk meleburkan yang sakral dan yang profan, yang lama dan yang baru. Proses ini bukan tanpa ketegangan—beberapa sumber menyebutkan konflik antara pendukung tradisi Hindu dan para penyebar Islam—tetapi pada akhirnya, sintesis yang lahir justru memperkaya khazanah spiritual Nusantara.
Dalam konteks theosofi, sejarah adalah cermin dari evolusi kesadaran. Majapahit mewakili fase di mana manusia masih mencari Tuhan melalui medium mitos dan ritual, sementara Demak menandai fase pencarian yang lebih intim dan personal. Namun, keduanya adalah tahapan dalam perjalanan panjang menuju pencerahan. Kisah Raden Patah yang meninggalkan kehidupan istana untuk berguru pada Sunan Ampel, misalnya, bisa dibaca sebagai metafora pelepasan ego duniawi untuk mencapai kebijaksanaan sejati.
Refleksi ini mengajarkan bahwa perubahan politik dan sosial tidak boleh dilihat secara terpisah dari dimensi spiritual. Ketika Majapahit runtuh, yang terjadi bukan hanya peralihan kekuasaan, tetapi pelepasan kolektif dari keterikatan pada bentuk-bentuk lama. Demak hadir bukan sebagai penghancur, tetapi sebagai penerus yang membawa energi pembaruan. Masyarakat yang awalnya terikat pada hierarki kosmis mulai belajar melihat diri sebagai bagian dari umat yang setara, sambil tetap menjaga harmoni dengan alam dan leluhur.
Warisan terbesar dari periode transisi ini adalah kemampuannya menciptakan identitas spiritual yang inklusif. Islam Nusantara, dengan karakteristiknya yang moderat dan adaptif, lahir dari proses dialog antara tasawuf, filsafat Jawa, dan nilai-nilai lokal. Tradisi khalwat (menyepi) dalam tarekat Syattariyah, misalnya, berpadu dengan praktik tapa brata (bertapa) dalam tradisi Jawa. Wayang kulit yang diisi dengan kisah Islam seperti Dewa Ruci (simbol pencarian ilmu sejati) menjadi medium yang menghidupkan kembali ajaran Bhima dalam Mahabharata dengan makna sufistik.
Pada akhirnya, transformasi dari Majapahit ke Demak mengajarkan bahwa spiritualitas Nusantara bukanlah sesuatu yang statis. Ia terus bergerak, merespons zaman, tanpa kehilangan akar. Seperti sungai yang mengalir, ia mengambil bentuk sesuai medan yang dilalui, tetapi airnya tetap berasal dari sumber yang sama. Perpaduan filsafat, esoteris, dan theosofi dalam periode ini membuktikan bahwa keragaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi.
Dalam konteks kekinian, refleksi ini mengajarkan pentingnya merawat kearifan lokal sebagai fondasi menghadapi perubahan. Sebagaimana nenek moyang kita mampu mengolah warisan Hindu-Buddha menjadi Islam yang khas Nusantara, kita pun ditantang untuk menciptakan sintesis kreatif antara tradisi dan modernitas. Sejarah transisi Majapahit-Demak mengingatkan bahwa setiap zaman memerlukan "Wali Songo" baru—pemimpin spiritual yang tidak hanya paham ajaran agama, tetapi juga mengerti denyut budaya masyarakatnya. Dengan demikian, evolusi spiritual Nusantara akan terus berlanjut, membawa misi perdamaian dan harmoni untuk dunia.
Sumber Akademis & Buku
- Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi.
- Membahas transisi politik dan sosial dari Majapahit ke Demak, termasuk peran Wali Songo.
- Zoetmulder, P. J. (1990). Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Penerbit Gramedia.
- Analisis filosofis tentang konsep penyatuan spiritual dalam tradisi Jawa dan Islam.
- Geertz, Clifford (1960). The Religion of Java. University of Chicago Press.
- Studi tentang sinkretisme Jawa, termasuk ritual slametan dan adaptasi Islam.
- Drewes, G. W. J. (1968). The Admonitions of Seh Bari. Brill.
- Kajian tentang teks-teks tasawuf Jawa dan pengaruhnya pada Islam Nusantara.
- Ras, J. J. (2014). Mitos dan Kekuasaan Jawa. Narasi.
- Menjelaskan simbolisme kekuasaan Majapahit dan transformasinya di Demak.
- Simuh (1995). Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam Jawa. Pustaka Pelajar.
- Membahas dimensi esoteris Islam Jawa, termasuk ajaran Wali Songo.
- Slamet Muljana (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. LKiS.
- Analisis historis tentang keruntuhan Majapahit dan kebangkitan Demak.
- Hadiwijono, Harun (1967). Kebatinan dan Injil. BPK Gunung Mulia.
- Membandingkan konsep spiritual Jawa dengan tradisi teologis.
- van Bruinessen, Martin (1994). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Mizan.
- Membahas tradisi esoteris Islam di Nusantara, termasuk tarekat Syattariyah.
- Sutjipto Wirjosuparto (1968). Pergeseran Kekuasaan dari Majapahit ke Demak. Djambatan.
- Fokus pada dinamika politik dan budaya selama transisi.
Sumber Esoteris & Theosofi
- Hadi, Amirul (2003). Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh. Brill.
- Menyentuh dimensi spiritual kekuasaan Islam di Nusantara.
- Schimmel, Annemarie (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press.
- Dasar-dasar tasawuf yang relevan dengan ajaran Wali Songo.
- Blavatsky, H. P. (1888). The Secret Doctrine. Theosophical Publishing House.
- Karya klasik theosofi tentang evolusi spiritual umat manusia.
- Guénon, René (1945). Introduction to the Study of Hindu Doctrines. Sophia Perennis.
- Perspektif tradisionalis tentang kesatuan metafisik agama-agama.
- Nasr, Seyyed Hossein (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism. HarperOne.
- Memperkuat analisis tentang dimensi sufisme dalam Islam Jawa.
Sumber Lokal & Primbon
- Serat Darmogandul dan Serat Kanda (naskah Jawa abad ke-18).
- Menceritakan legenda keruntuhan Majapahit dan peran Sunan Kalijaga.
- Babad Tanah Jawi (versi Meinsma, 1874).
- Sumber tradisional tentang sejarah Jawa, termasuk pendirian Demak.
- Kitab Suluk Wujil (naskah abad ke-16).
- Teks tasawuf Jawa yang menggabungkan Hindu-Buddha dan Islam.
- Primbon Jawa (berbagai versi).
- Memuat konsep keblat papat lima pancer dan simbolisme spiritual Jawa.
Artikel & Jurnal
- Woodward, Mark R. (1989). "Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta". Journal of Asian Studies.
- Membahas sinkretisme Islam-Jawa pasca-Demak.
- Florida, Nancy K. (1995). "Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java". Comparative Studies in Society and History.
- Analisis tentang narasi sejarah Jawa sebagai proses spiritual.
- Johns, A. H. (1961). "Sufism in Indonesia". Journal of Southeast Asian History.
- Kajian tentang perkembangan tasawuf di Nusantara.
Comments
Post a Comment