Manusia secara alamiah memiliki dua kecenderungan dalam menjalani hidup: berhadapan langsung dengan realitas atau menghindarinya melalui ilusi. Dalam tradisi spiritual, konsep Dharma dan adharma mencerminkan kedua kecenderungan ini dengan sangat jelas. Dharma mewakili jalan kebenaran, tanggung jawab, dan upaya untuk mencapai pembebasan dari penderitaan melalui pemahaman yang mendalam. Sebaliknya, adharma melambangkan pelarian dari kenyataan, penghindaran terhadap penderitaan, dan pencarian kenikmatan atau kelegaan semu melalui ilusi.
Salah satu aspek paling kritis dari perjalanan spiritual dalam kedua jalan ini adalah cara seseorang menghadapi dukkha—penderitaan, serta ketakutan akan kematian. Dalam ajaran Dharma, penderitaan dihadapi secara langsung untuk diatasi dan dilampaui. Sementara itu, ajaran adharma sering kali mencoba menutup-nutupi penderitaan dengan hiburan dan penghiburan sementara. Perbedaan dalam pendekatan ini mencerminkan sejauh mana seseorang siap atau tidak menghadapi kematian dan transisi akhir kehidupan.
Dharma: Melampaui Penderitaan dengan Pemahaman Langsung
Dharma dalam berbagai tradisi spiritual, termasuk Buddha, Hindu, dan Jain, sering diartikan sebagai kebenaran, hukum alam, dan tanggung jawab moral. Dharma mengarahkan seseorang untuk hidup sesuai dengan hukum-hukum alam dan mengakui bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian dan penderitaan (dukkha). Namun, Dharma tidak berhenti pada pengakuan akan penderitaan. Dharma mengajarkan bahwa kita harus mengidentifikasi, memahami, dan melampaui penderitaan tersebut untuk mencapai kebebasan atau pencerahan.
Dalam Buddhisme, misalnya, penderitaan merupakan pusat dari Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha. Kebenaran pertama mengakui bahwa kehidupan penuh dengan penderitaan. Namun, yang lebih penting adalah Kebenaran Mulia kedua, yang menunjukkan bahwa penderitaan memiliki sebab—keinginan, keterikatan, dan ketidaktahuan. Melalui meditasi, introspeksi, dan praktek kesadaran, seseorang dapat mengamati penderitaan dan menggali akarnya. Proses ini disebut sebagai direct experience, atau pengalaman langsung. Pengalaman ini bukan berdasarkan teori atau spekulasi intelektual, tetapi pada pengamatan mendalam terhadap diri sendiri dan realitas yang ada.
Dharma menekankan bahwa kebijaksanaan sejati (wisdom) hanya dapat muncul dari pengalaman langsung ini. Kebijaksanaan ini bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara verbal atau ditransfer melalui teks-teks suci saja, melainkan diperoleh melalui praktek spiritual yang konsisten. Dengan cara ini, seseorang tidak hanya menghadapi penderitaan, tetapi juga dapat melampaui penderitaan tersebut, karena ia memahami bahwa akar dari penderitaan itu adalah ilusi yang dihasilkan oleh pikiran yang belum tercerahkan.
Adharma: Pelarian dari Kenyataan dan Ilusi tentang Kematian
Jika Dharma mengajak seseorang untuk menghadapi realitas, maka adharma, yang sering diartikan sebagai jalan ketidakbenaran, adalah jalan pelarian dari kenyataan. Adharma tidak berarti kejahatan dalam arti eksplisit, tetapi lebih kepada penolakan atau pengabaian terhadap hukum-hukum alam dan kebenaran eksistensial. Dalam konteks ini, adharma mencakup kecenderungan untuk menghindari penderitaan dan ketakutan, termasuk ketakutan akan kematian, dengan menciptakan ilusi-ilusi yang nyaman.
Dalam kehidupan modern, pelarian ini dapat berbentuk pencarian hiburan materialistis, kesenangan duniawi, atau bahkan kepercayaan yang dangkal tentang kematian. Banyak orang hidup dalam khayalan bahwa kematian adalah sesuatu yang jauh atau dapat diatasi dengan cara-cara ilusi. Mereka membangun konsep-konsep indah tentang kematian tanpa benar-benar merenungkan apa makna kematian dalam hidup mereka. Ini menciptakan situasi di mana iman yang mereka miliki hanya berdasarkan kata-kata dan gagasan, bukan pada pengalaman atau kebijaksanaan yang mendalam.
Adharma memanfaatkan ketakutan manusia akan ketidaktahuan. Ketika seseorang menjalani hidup dengan melarikan diri dari kenyataan, saat kematian mendekat, mereka tidak siap. Kematian, yang telah mereka hindari secara psikologis sepanjang hidup mereka, tiba-tiba tampak sebagai sesuatu yang tidak dapat dihadapi. Iman yang semula tampak kokoh dalam kepercayaan-kepercayaan verbal menjadi rapuh ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai dengan khayalan mereka. Di sinilah adharma memperlihatkan kelemahannya: ia membangun dinding-dinding ilusi yang pada akhirnya runtuh ketika realitas kehidupan dan kematian menghadapinya secara langsung.
Akumulasi Kebajikan dan Kebijaksanaan: Persiapan Batin Menghadapi Kematian
Salah satu pelajaran penting yang diajarkan oleh Dharma adalah pentingnya mempersiapkan diri secara batin untuk kematian. Ini tidak hanya tentang bagaimana kita hidup, tetapi juga bagaimana kita bersiap untuk meninggalkan dunia ini dengan damai dan penuh pemahaman. Dalam konteks ini, ajaran Dharma sering kali membicarakan dua jenis akumulasi yang sangat penting: akumulasi kebajikan (virtue) dan kebijaksanaan (wisdom).
Akumulasi kebajikan adalah dasar dari kehidupan yang bermoral dan penuh kasih. Ini mencakup tindakan-tindakan yang baik, seperti memberi, berbagi, menjaga kesucian moral, dan memiliki rasa kasih sayang yang mendalam terhadap sesama makhluk. Kebajikan ini bukan hanya menolong kita dalam interaksi sehari-hari, tetapi juga menciptakan pondasi spiritual yang kuat untuk menghadapi transisi menuju kematian. Kebajikan berperan dalam membersihkan hati dari kecenderungan egois, kemarahan, dan kebencian, yang seringkali menjadi sumber dari penderitaan batin.
Namun, kebajikan saja tidak cukup. Kebijaksanaan adalah kunci lain yang diperlukan untuk melampaui penderitaan. Kebijaksanaan ini diperoleh bukan melalui pembelajaran teoretis atau intelektual semata, melainkan melalui pengalaman langsung yang diperoleh dari praktek spiritual seperti meditasi, refleksi, dan kontemplasi. Kebijaksanaan memungkinkan seseorang untuk melihat realitas sebagaimana adanya, tanpa dibutakan oleh ilusi-ilusi yang diciptakan oleh pikiran.
Kematangan batin yang lahir dari akumulasi kebajikan dan kebijaksanaan mempersiapkan seseorang untuk menghadapi kematian dengan tenang. Dharma mengajarkan bahwa dengan pemahaman mendalam tentang siklus kehidupan dan kematian, seseorang tidak lagi takut menghadapi transisi ini. Sebaliknya, mereka siap menyambut kematian sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka, dengan pemahaman bahwa kehidupan dan kematian adalah dua sisi dari eksistensi yang sama.
Kesimpulan
Perbedaan antara Dharma dan adharma adalah perbedaan fundamental dalam cara seseorang memandang dan menghadapi kehidupan, penderitaan, dan kematian. Dharma mengajarkan kita untuk melihat realitas secara langsung, memahami penderitaan melalui pengalaman langsung, dan melampaui ketakutan yang melekat pada eksistensi manusia. Sebaliknya, adharma membawa kita menjauh dari realitas, menciptakan ilusi-ilusi yang mungkin menyenangkan dalam jangka pendek tetapi rapuh ketika dihadapkan pada kenyataan sejati.
Melalui akumulasi kebajikan dan kebijaksanaan, Dharma menuntun kita untuk mempersiapkan diri secara batin menghadapi kematian dengan damai dan tenang. Sementara adharma, dengan kecenderungannya untuk menghindari kenyataan, meninggalkan kita tanpa persiapan dan sering kali terjebak dalam kebingungan saat momen transisi kehidupan yang paling penting itu tiba. Oleh karena itu, memilih jalan Dharma bukan hanya penting untuk kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan ini, tetapi juga untuk persiapan yang matang dalam menghadapi realitas kematian yang tak terelakkan.
Daftar Pustaka
1. Bhikkhu Bodhi. (2005). In the Buddha's Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Wisdom Publications.
2. Dalai Lama. (2005). The Universe in a Single Atom: The Convergence of Science and Spirituality. Harmony Books.
3. Harvey, Peter. (2013). An Introduction to Buddhism: Teachings, History and Practices. Cambridge University Press.
4. Kṛṣṇamūrti, Jiddu. (2013). Freedom from the Known. HarperOne.
5. Thanissaro Bhikkhu. (1996). The Wings to Awakening: An Anthology from the Pali Canon. Metta Forest Monastery.
6. Watts, Alan. (1975). The Way of Zen. Vintage Books.
7. Zimmer, Heinrich. (1951). Philosophies of India. Princeton University Press.
8. Yogananda, Paramahansa. (2004). Autobiography of a Yogi. Self-Realization Fellowship.
9. Conze, Edward. (1951). Buddhist Thought in India: Three Phases of Buddhist Philosophy. Allen & Unwin.
10. Nhat Hanh, Thich. (1999). *The Heart of the Buddha's Teaching: Transforming Suffering into Peace
Comments
Post a Comment