"Diwenehi Ati, Ngrogoh Rempela"

Peribahasa Jawa "Diwenehi ati, ngrogoh rempela" secara harfiah menggambarkan seseorang yang diberi hati namun meminta rempela—organ dalam yang lebih berharga. Metafora ini menjadi simbol ketidakpuasan dan keserakahan, sikap yang tidak hanya bertentangan dengan etika kesederhanaan dalam budaya Jawa, tetapi juga mencerminkan ketidakseimbangan universal yang merusak hubungan sosial, spiritual, dan filosofis manusia. Dalam konteks yang lebih luas, peribahasa ini menjadi cermin bagi manusia untuk mengevaluasi batasan keinginan, rasa syukur, dan tanggung jawab terhadap alam semesta. Melalui lensa ilmu sosial, filsafat, esoteris, dan theosofi, kita dapat mengeksplorasi bagaimana keserakahan bukan sekadar pelanggaran norma, tetapi gangguan terhadap harmoni kosmis yang menghubungkan manusia dengan dirinya, sesama, dan realitas transenden.

Makna Sosial dan Dampak Relasional Keserakahan

Secara sosial, peribahasa ini mengkritik sikap manusia yang mengabaikan prinsip timbal balik dalam hubungan antarmanusia. Teori pertukaran sosial (Homans, Blau) menjelaskan bahwa interaksi manusia dibangun atas dasar mutualisme: pemberian dan penerimaan yang seimbang menciptakan kepercayaan dan kohesi. Ketika seseorang menerima kebaikan tetapi menuntut lebih, ia merusak keseimbangan ini. Masyarakat Jawa, yang menjunjung _tepa selira_ (empati) dan _ngajeni_ (menghormati), memandang sikap serakah sebagai pengkhianatan terhadap nilai gotong royong. Konflik muncul ketika individu menganggap haknya melebihi hak kolektif. Misalnya, dalam tradisi _rewang_ (bantu-membantu), seseorang yang hanya mengambil manfaat tanpa berkontribusi akan dicap _ora njawani_ (tidak memahami adat). Ketidakseimbangan ini tidak hanya merusak hubungan personal tetapi juga melemahkan struktur komunitas yang berbasis kepercayaan.

Budaya Jawa mengajarkan _mikul dhuwur, mendhem jero_—memuliakan pemberian dan mengubur kekurangan orang lain. Sikap ini bertolak belakang dengan keserakahan, yang justru mengeksploitasi kemurahan hati. Dalam konteks modern, fenomena ini dapat dilihat dalam relasi kuasa, seperti karyawan yang memanfaatkan kebaikan atasan untuk kepentingan pribadi, atau dalam politik patronase di mana klien menuntut lebih dari yang seharusnya. Ketidakseimbangan ini menciptakan hierarki eksploitatif, di mana satu pihak menjadi korban dari nafsu pihak lain. Dari sini, kita melihat bahwa keserakahan bukan hanya masalah moral individu, tetapi juga produk struktur sosial yang tidak adil.

Moderasi sebagai Jalan Kebajikan

Secara filosofis, peribahasa ini menyentuh inti pemikiran tentang keutamaan (_virtue_) dan bahaya ekstremitas. Aristoteles dalam _Nicomachean Ethics_ menekankan _Golden Mean_—kebajikan terletak di antara dua kutub ekstrem. Keserakahan, dalam hal ini, adalah kelebihan dalam keinginan (_pleonexia_), yang berlawanan dengan kekikiran (kekurangan) dan kebajikan kedermawanan (keseimbangan). Bagi Aristoteles, manusia yang bijak adalah yang mengenali batas kebutuhan rasionalnya dan menolak hasrat irasional untuk mengakumulasi lebih dari yang diperlukan. Konsep ini selaras dengan ajaran Konfusianisme tentang _Zhong Yong_ (Jalan Tengah), di mana keserakahan dianggap sebagai penyimpangan dari _Li_ (tatanan kosmis) yang harmonis.

Epikurianisme mengambil pendekatan berbeda namun tetap menekankan kesederhanaan. Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan sejati (_ataraxia_) tercapai bukan dengan memuaskan semua keinginan, tetapi dengan mengurangi keinginan hingga pada tingkat yang alamiah dan perlu. Dalam surat kepada Menoeceus, ia menulis: "Tidak ada kenikmatan yang jahat; namun, kenikmatan tertentu membawa gangguan yang jauh lebih besar daripada kenikmatan itu sendiri." Dengan kata lain, keserakahan—sebagai keinginan tak terbatas—justru menghasilkan penderitaan karena manusia terjebak dalam siklus ketidakpuasan. Ini menggemakan pandangan Buddhisme tentang _tanha_ (nafsu) sebagai akar _dukkha_ (penderitaan). Stoikisme juga menolak keserakahan dengan mengajarkan _apatheia_—kebebasan dari hasrat yang mengganggu ketenangan jiwa. Seneca menggambarkan keserakahan sebagai "penyakit jiwa" yang membuat manusia mengorbankan kebajikan untuk hal-hal fana.

Pemikiran modern seperti utilitarianisme John Stuart Mill mengkritik keserakahan melalui prinsip _the greatest happiness for the greatest number_. Keserakahan individu yang merampas hak orang lain mengurangi utilitas kolektif, sehingga bertentangan dengan etika sosial. Sementara itu, Immanuel Kant dalam _Groundwork of the Metaphysics of Morals_ akan mengecam keserakahan sebagai pelanggaran terhadap imperatif kategoris: manusia tidak boleh diperlakukan sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan. Dengan memanfaatkan kemurahan hati orang lain untuk kepentingan diri, si serakah telah mengobjektifikasi pemberi sebagai alat pemuas nafsu.

 Karma, Energi, dan Ketidakterikatan

Dalam perspektif esoteris, keserakahan dipandang sebagai gangguan terhadap aliran energi kosmis. Ajaran Hindu mengenal _lobha_ (keserakahan) sebagai salah satu dari _tri mala_ (tiga kekotoran), bersama _krodha_ (kemarahan) dan _moha_ (kebodohan). _Lobha_ mengotori _chitta_ (kesadaran) dan mengikat jiwa pada siklus kelahiran kembali (_samsara_). Dalam sistem cakra, keserakahan terkait dengan cakra solar plexus (_Manipura_), yang ketika terblokir oleh nafsu kepemilikan, menyebabkan ketidakseimbangan emosional dan penyakit fisik. Meditasi pada cakra ini bertujuan untuk mengubah energi dari sifat _tamasik_ (statis) ke _sattvik_ (murni).

Buddhisme mengaitkan keserakahan dengan konsep _upadana_ (keterikatan). Dalam _Dhamma Cakka Pavattana Sutta_, Sang Buddha menyatakan bahwa pelepasan dari _tanha_ adalah jalan menuju Nirvana. Praktik _dana_ (memberi) melatih umat untuk melepaskan keterikatan pada materi. Kisah Jataka tentang Pangeran Vessantara menggambarkan ideal ini: seorang pangeran yang rela memberikan segalanya, termasuk anak dan istri, untuk melenyapkan keserakahan. Dalam tradisi Zen, kisah _Bankei dan Pencuri_ mengajarkan bahwa keserakahan muncul dari ilusi ego yang memisahkan diri dari kesatuan alam.

Taoisme melihat keserakahan sebagai pelanggaran terhadap _Dao_ (Jalan). _Dao De Jing_ pasal 44 menyatakan: "Dia yang tahu cukup tidak akan pernah dipermalukan; dia yang tahu berhenti akan terhindar dari bahaya." Keserakahan dianggap sebagai _wei_ (tindakan memaksa) yang bertentangan dengan _wu wei_ (keberadaan alami tanpa intervensi). Praktik _ziran_ (spontanitas) mengajarkan manusia untuk mengikuti ritme alam, bukan mengejar keinginan artifisial. Dalam pengobatan Tiongkok kuno, keserakahan dikaitkan dengan elemen Tanah yang terganggu, menyebabkan gangguan pencernaan dan kecemasan.

Ajaran Kabbalah Yahudi menggambarkan keserakahan sebagai kegagalan dalam _Tikkun Olam_ (memperbaiki dunia). _Sefirah Yesod_ (fondasi) yang terhubung dengan bulan mengajarkan keseimbangan antara menerima dan memberi. Ketika _Yesod_ terblokir oleh keserakahan, aliran _Shefa_ (berkah ilahi) terhambat. Praktik _tzedakah_ (amal) dalam Yudaisme bertujuan membersihkan jiwa dari sifat ini. Sementara itu, dalam Sufisme, keserakahan adalah hijab (tabir) yang menutupi cahaya Ilahi. Rumi dalam _Matsnawi_ menulis: "Dunia ini seperti gigi berlubang: semakin kau isi, semakin sakit." Para sufi melatih diri melalui _zuhd_ (asketisme) untuk mencapai _fana_ (kefanaan dalam Tuhan).

---
Kesatuan Kosmis dan Hukum Sebab-Akibat

Theosofi, yang memadukan filsafat Timur dan Barat, melihat keserakahan sebagai pelanggaran terhadap Hukum Karma dan Kesatuan Semesta. Menurut Helena Blavatsky, keserakahan adalah ekspresi dari _avidya_ (ketidaktahuan) akan hakikat sejati manusia sebagai bagian dari _Anima Mundi_ (Jiwa Semesta). Setiap tindakan serakah tidak hanya merugikan individu lain, tetapi juga merusak jaringan energi kosmis yang menghubungkan semua makhluk. Dalam _The Secret Doctrine_, Blavatsky menekankan bahwa karma bukanlah penghukuman, tetapi hukum alam yang menuntut tanggung jawab atas setiap ketidakseimbangan yang diciptakan.

Theosofi juga mengenal konsep _Tujuh Prinsip Manusia_, di mana keserakahan terkait dengan _Kama-Manas_ (pikiran keinginan). Ketika _Kama-Manas_ mendominasi, manusia terjebak dalam ilusi materi dan melupakan tujuan spiritualnya. Praktik meditasi theosofis bertujuan untuk mengalihkan kesadaran dari _kepribadian rendah_ (nafsu) ke _kepribadian tinggi_ (jiwa). Alice Bailey dalam _Treatise on Cosmic Fire_ menjelaskan bahwa keserakahan memicu "api destruktif" yang membakar _antahkarana_ (jembatan antara kesadaran fisik dan spiritual).

Ajaran theosofi tentang _Rantai Emas_ (_Golden Chain_) menyatakan bahwa semua kehidupan terhubung dalam satu kesatuan. Keserakahan, dengan merusak hubungan ini, menghambat evolusi spiritual kolektif. Setiap individu yang serakah tidak hanya menciptakan karma negatif bagi dirinya, tetapi juga memperlambat kemajuan ras manusia menuju kesadaran Kristik atau Buddha. Dalam konteks ini, peribahasa Jawa tersebut menjadi peringatan tentang pentingnya hidup selaras dengan hukum kosmis—memberi dan menerima dalam proporsi yang adil.

 Menemukan Kembali Keseimbangan melalui Syukur dan Kesadaran

Peribahasa "Diwenehi ati, ngrogoh rempela" mengajarkan bahwa kedamaian hanya mungkin tercapai ketika manusia meninggalkan ilusi pemisahan dan mengakui interdependensi dengan seluruh ciptaan. Dalam ranah sosial, ini berarti membangun sistem yang adil berdasarkan prinsip keadilan distributif dan kesetaraan. Filsafat mengajak kita untuk merenungkan kebajikan moderasi sebagai jalan tengah antara kekurangan dan kelebihan. Esoterisisme dan theosofi menawarkan praktik transformatif—seperti meditasi, pelayanan, dan pelepasan—untuk membersihkan energi keserakahan dan menyelaraskan diri dengan ritme alam.

Kunci utamanya adalah _rasa syukur_, yang dalam semua tradisi spiritual dianggap sebagai obat penawar keserakahan. Dalam Islam, syukur (_shukr_) adalah tanda keimanan; dalam Kristiani, Eucharistic (syukur) adalah pusat ibadah. Penelitian psikologi positif (Emmons, McCullough) membuktikan bahwa syukur meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi keinginan materialistik. Dengan bersyukur, manusia beralih dari mentalitas kelangkaan (_scarcity mindset_) ke kelimpahan (_abundance mindset_), di mana ia melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan memberi dan menerima yang saling menguntungkan.

Akhirnya, peribahasa ini mengingatkan kita bahwa hidup bukanlah perlombaan mengakumulasi, tetapi perjalanan untuk menemukan makna dalam kesederhanaan. Seperti kata Lao Tzu: "Dia yang tahu cukup adalah kaya." Dengan menghormati batasan, manusia tidak hanya mencapai harmoni sosial dan spiritual, tetapi juga menjadi saluran bagi energi ilahi yang mengalir melalui segala sesuatu. Di sinilah esensi sejati dari "Diwenehi ati, ngrogoh rempela"—sebuah seruan untuk hidup dalam kesadaran bahwa setiap pemberian adalah anugerah, dan setiap rasa cukup adalah langkah menuju pencerahan.


Referensi:
1. Filsafat & Etika
- **Aristoteles**. *Nicomachean Ethics* (tentang *Golden Mean*).  
- **Epicurus**. *Letter to Menoeceus* (konsep keinginan alamiah vs. tidak alamiah).  
- **Seneca**. *Letters from a Stoic* (kritik terhadap keserakahan).  
- **Ibn Arabi**. *Fusus al-Hikam* (konsep *nafsu ammarah* dan *mutmainnah*).  

 2. Buddhisme & Hinduisme
- **Dhammapada**. Bab "Lobha" (keserakahan sebagai akar penderitaan).  
- **Brihadaranyaka Upanishad**. Pembahasan karma dan hukum sebab-akibat.  
- **Ajaran Zen**. Konsep *shoshin* (pikiran pemula).  

 3. Theosofi & Esoterisme
- **Helena Blavatsky**. *The Secret Doctrine* (hukum karma dan energi spiritual).  
- **Annie Besant**. *The Ancient Wisdom* (evolusi jiwa dan reinkarnasi).  
- **Teori Chakra**. *Manipura* chakra dan hubungannya dengan nafsu (sumber: tradisi Tantra dan Yoga).  

4. Sosiologi & Antropologi
- **Marcel Mauss**. *The Gift: Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies* (resiprositas sosial).  
- **Teori Pertukaran Sosial** (Homans, Blau) – tentang keseimbangan dalam hubungan manusia.  

5. Budaya Jawa
- **Kitab Wedhatama** (KGPAA Mangkunagara IV) – Konsep *sepi ing pamrih*.  
- **Ajaran Kejawen** – *Narima ing pandum* (menerima takdir) dan *sak madya* (kesederhanaan).  

 6. Sains & Filosofi Modern
- **Rupert Sheldrake**. *Morphic Resonance* (pengaruh perilaku kolektif pada energi sosial).  
- **Psikologi Konsumerisme** (analisis keserakahan dalam masyarakat modern).  


Comments