Peribahasa "Gusti ora sare" merupakan salah satu ungkapan tradisional Jawa yang mengandung nilai filosofis dan spiritual yang mendalam. Secara harfiah, peribahasa ini berarti "Tuhan tidak tidur," yang mengisyaratkan bahwa Tuhan selalu mengawasi setiap tindakan manusia. Namun, makna ini bisa diperluas untuk mencakup dimensi esoteris dan filosofi kehidupan, di mana Tuhan dipandang sebagai kekuatan ilahi yang tidak pernah lengah, selalu memantau hukum alam semesta, dan memastikan keadilan kosmik. Dalam esai ini, kita akan membahas dimensi-dimensi tersebut dari berbagai sudut pandang, termasuk hubungan peribahasa ini dengan fenomena sosial modern serta pemaknaannya dalam tradisi spiritual lainnya.
1. Dimensi Filosofis dan Esoteris
Dari perspektif filsafat dan esoteris, peribahasa "Gusti ora sare" menunjukkan keberadaan kesadaran universal yang melampaui konsep-konsep keilahian dalam agama dogmatis. Kekuatan ini bisa dilihat sebagai bentuk kesadaran yang mengatur seluruh eksistensi dan tatanan kosmos. Sebagaimana dalam banyak tradisi mistik di dunia, gagasan bahwa Tuhan atau kekuatan ilahi selalu terjaga memberi pesan bahwa hukum sebab-akibat atau karma bekerja tanpa henti, tanpa memandang waktu atau keadaan.
Dalam tradisi Jawa, konsep "Gusti" merujuk pada Tuhan yang merupakan kesatuan tertinggi dan mengatur segalanya. Dalam ajaran Kejawen, Tuhan dipandang sebagai kekuatan yang hadir dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam diri manusia. "Ora sare" mengimplikasikan bahwa kesadaran ilahi ini tidak pernah lengah atau abai terhadap tindakan manusia. Setiap langkah dan niat akan mendapat perhatian dari kesadaran universal tersebut, baik secara langsung maupun melalui mekanisme yang lebih rumit, seperti karma.
2. Keadilan Kosmik dan Karma
Konsep "Gusti ora sare" memiliki hubungan erat dengan hukum karma, yang dikenal dalam ajaran Hindu, Buddha, dan berbagai tradisi esoteris lainnya. Karma menyatakan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang pasti, baik di kehidupan ini atau di kehidupan mendatang. Dalam konteks ini, peribahasa tersebut mengajarkan bahwa meskipun manusia tampaknya tidak mendapatkan balasan yang setimpal di dunia, keadilan kosmik akan berjalan dengan sempurna.
Dalam banyak kasus kehidupan nyata, manusia sering merasa bahwa ketidakadilan terjadi tanpa ada konsekuensi nyata. Seseorang yang korupsi, misalnya, bisa saja hidup mewah tanpa harus merasakan hukum yang setimpal. Namun, "Gusti ora sare" mengajarkan bahwa pada tingkat yang lebih tinggi, ada kekuatan yang memastikan bahwa semua tindakan akan dibalas sesuai dengan hukumnya. Dalam hal ini, peribahasa ini mengajak manusia untuk berbuat baik bukan karena takut pada hukuman duniawi, melainkan karena sadar bahwa ada konsekuensi yang lebih besar dari tindakan mereka.
Relasi dengan Konsep Keadilan dalam Masyarakat Modern
Dalam dunia modern, peribahasa ini tetap memiliki relevansi yang kuat, terutama dalam menghadapi ketidakpastian hukum dan sosial. Masyarakat saat ini sering merasa kecewa terhadap sistem hukum yang tidak adil, di mana orang yang kuat dan kaya seringkali tampak kebal terhadap konsekuensi dari tindakan mereka. Fenomena ini bisa dilihat dalam banyak contoh, seperti kasus korupsi, kejahatan yang melibatkan kekuatan politik, atau ketidakadilan sosial yang diabaikan oleh sistem.
Namun, "Gusti ora sare" mengingatkan bahwa sistem kosmik bekerja di luar batasan-batasan hukum manusia. Ketidakadilan mungkin terjadi di dunia fisik, tetapi hukum alam semesta akan tetap bekerja, memberi balasan yang sesuai di waktu dan tempat yang tak terduga. Ini mengajarkan pentingnya kesabaran dan kepercayaan dalam keadilan ilahi.
3. Keterhubungan Antara Manusia dan Tuhan
Peribahasa ini juga menggambarkan hubungan erat antara manusia dan Tuhan dalam konteks spiritual. Di satu sisi, ia mengingatkan manusia bahwa tidak ada tindakan, sekecil apa pun, yang luput dari pengawasan ilahi. Ini bisa menjadi motivasi bagi manusia untuk selalu bertindak dengan integritas dan kesadaran penuh. Namun, di sisi lain, hubungan ini juga memberikan rasa aman bahwa manusia tidak pernah sendirian. Dalam situasi sulit, keyakinan bahwa "Gusti ora sare" bisa memberikan ketenangan, bahwa ada kekuatan yang selalu mengawasi dan memberi perlindungan.
Dalam spiritualitas esoteris, gagasan ini mencerminkan konsep oneness atau kesatuan antara manusia dan alam semesta. Dalam banyak ajaran mistis, manusia tidak terpisah dari Tuhan atau kekuatan kosmik. Sebaliknya, mereka adalah bagian integral dari kesadaran ilahi yang lebih besar. "Gusti ora sare" menegaskan bahwa hubungan ini bersifat abadi dan tak terputus, memberi makna bahwa setiap tindakan manusia berpengaruh pada seluruh tatanan kosmis.
4. Makna dalam Tradisi Spiritual Lainnya
Dalam tradisi Hindu dan Buddha, konsep serupa juga ditemukan. Dalam Hindu, Dewa Vishnu sering digambarkan sebagai penjaga tatanan kosmik yang tidak pernah tidur. Vishnu memantau keseimbangan antara kekuatan baik dan jahat di dunia, memastikan bahwa dharma selalu terjaga. Sementara dalam Buddha, gagasan bahwa setiap tindakan akan membawa hasil sepadan dengan karma yang dihasilkan sejalan dengan makna "Gusti ora sare". Di sini, perbuatan baik akan selalu dihargai dan dihormati oleh alam semesta, meskipun tidak langsung terlihat.
Selain itu, dalam tradisi Kristen esoteris, Tuhan dipandang sebagai kesadaran ilahi yang tidak pernah tidur dan selalu menjaga umat manusia. Dalam tradisi ini, Tuhan hadir sebagai penjaga yang selalu siap memberikan petunjuk dan arah hidup. Meskipun manusia seringkali merasa terpisah dari Tuhan, Tuhan tidak pernah meninggalkan mereka, melainkan selalu hadir dalam segala aspek kehidupan mereka, baik dalam keberhasilan maupun kesulitan.
5. Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Keyakinan bahwa Tuhan atau kekuatan ilahi tidak pernah tidur memberikan landasan moral yang kuat bagi manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Keyakinan ini dapat mendorong individu untuk bertindak dengan tanggung jawab, integritas, dan kepedulian terhadap sesama. Di tengah godaan untuk mengambil jalan pintas atau berbuat curang, kesadaran bahwa "Gusti ora sare" memberi motivasi untuk tetap berjalan pada jalur kebenaran, karena pada akhirnya semua tindakan akan diukur dan diberikan balasan.
Dalam konteks sosial, keyakinan ini juga dapat mengurangi kecemasan terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar. Ketika seseorang menghadapi situasi di mana hukum atau sistem sosial tampak tidak adil, keyakinan bahwa ada kekuatan yang lebih besar yang mengatur keadilan kosmik dapat memberikan ketenangan batin. Dengan demikian, peribahasa ini juga berfungsi sebagai sumber penghiburan dalam menghadapi tantangan hidup.
Kesimpulan
Peribahasa Jawa "Gusti ora sare" bukan hanya ungkapan sederhana tentang kehadiran Tuhan, tetapi juga menyimpan makna mendalam yang mencerminkan hubungan antara manusia, alam semesta, dan kesadaran ilahi. Di satu sisi, ia mengajarkan bahwa keadilan ilahi selalu hadir, memastikan bahwa setiap tindakan manusia akan mendapatkan konsekuensinya. Di sisi lain, ia memberikan keyakinan bahwa manusia selalu berada di bawah perlindungan dan pengawasan kekuatan kosmik yang lebih besar. Dalam dunia modern yang penuh dengan ketidakpastian dan ketidakadilan, peribahasa ini tetap relevan dan memberikan landasan spiritual bagi kehidupan sehari-hari.
---
Daftar Pustaka
Adiwimarta, S. (2000). Filsafat Jawa: Tentang Manusia, Alam, dan Tuhan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Becker, A. L. (1995). Beyond Translation: Essays Toward a Modern Philology. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Koentjaraningrat. (1985). Javanese Culture. Singapore: Oxford University Press.
Pranowo, B. (2010). The Power of Javanese Gendhing: Meaning and Use in the Context of Society. Surakarta: Balai Pustaka.
Soedjito, H. (1989). Kebudayaan Jawa dan Filosofi Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Comments
Post a Comment