Dalam jagat seni pertunjukan wayang kulit, gunungan menempati posisi sentral sebagai simbol yang sarat dengan lapisan makna filosofis, spiritual, dan kosmologis. Bentuknya yang menyerupai gunung, dengan puncak meruncing dan dihiasi ornamen alam serta makhluk mitologis, bukan sekadar hiasan visual. Ia adalah miniatur semesta yang merefleksikan pandangan hidup masyarakat Jawa tentang dinamika eksistensi manusia, relasinya dengan alam, dan pencariannya terhadap hakikat ketuhanan. Melalui lensa filsafat, esoterisme, dan theosofi, gunungan menjadi jendela untuk memahami kompleksitas kebudayaan Jawa yang memadukan rasionalitas, spiritualitas, dan kebijaksanaan transenden.
Secara filosofis, gunungan merepresentasikan dualitas yang menjadi inti dari kosmologi Jawa. Konsep “Rwa Bhineda”—dua kutub yang berlawanan namun saling melengkapi—termanifestasi dalam dua sisi gunungan: satu sisi dihiasi flora, fauna, dan cahaya yang melambangkan ketertiban, sementara sisi lainnya dipenuhi api dan makhluk chaos yang merepresentasikan destruksi. Dualitas ini bukan pertentangan absolut, melainkan harmoni dinamis yang menopang keseimbangan alam. Dalam tradisi filsafat Jawa, pertentangan antara terang dan gelap, baik dan buruk, atau mikrocosmos (jagat cilik) dan makrocosmos (jagat gede), dipahami sebagai dua sisi mata uang yang sama. Gunungan, dalam hal ini, menjadi metafora perjalanan manusia yang harus merangkul kedua aspek ini untuk mencapai kesempurnaan hidup. Puncak gunungan yang meruncing ke atas melambangkan titik temu dualitas tersebut—sebuah kesadaran tertinggi di mana manusia menyadari bahwa kontradiksi hanyalah ilusi dalam kerangka realitas yang lebih luas.
Pemikiran ini selaras dengan ajaran “manunggaling kawula lan Gusti”, yang menekankan penyatuan hamba dengan Tuhannya. Bentuk segitiga gunungan, yang dalam banyak tradisi spiritual melambangkan trinitas atau tiga tahap kesadaran (lahir, hidup, mati), merefleksikan proses penyatuan ini. Filsafat Jawa melihat kehidupan sebagai siklus yang terus berputar, di mana kematian bukan akhir, melainkan fase transisi menuju kelahiran kembali. Gunungan, yang diletakkan di tengah layar wayang untuk menandai awal, pertengahan, dan akhir lakon, menjadi simbol abadi dari siklus ini. Dalam konteks ini, filsafat gunungan mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah meditasi berkelanjutan untuk menemukan titik tengah antara dunia material dan spiritual, antara hasrat individu dan tanggung jawab kosmis.
Dari perspektif esoterisme, gunungan adalah peta spiritual yang mengarahkan manusia menuju pencerahan. Setiap lapisan ornamennya mengandung kode-kode mistis yang hanya dapat dibaca oleh mereka yang telah membuka “mata batin”. Puncak gunungan, yang sering digambarkan dengan nyala api atau sinar, diasosiasikan dengan kebangkitan energi Kundalini—konsep dalam tradisi Tantra yang merujuk pada energi ilahi yang bersemayam di dasar tulang belakang. Ketika energi ini terbangun dan naik melalui tujuh cakra, manusia mencapai kesadaran tertinggi (sahasrara). Dalam konteks Jawa, api di puncak gunungan melambangkan “geni” (api) yang tidak hanya membakar kekotoran batin, tetapi juga menerangi jalan menuju “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan penciptaan). Proses ini mencerminkan perjalanan asketis seorang sufi yang harus melewati “maqamat” (stasion-stasion spiritual) untuk mencapai fana (kefanaan) dan baqa (keabadian).
Bagian tengah gunungan, yang dihiasi pepohonan, burung, dan hewan, melambangkan dunia transisi antara materi dan spirit. Di sini, flora dan fauna bukan sekadar dekorasi, melainkan simbol dari ujian-ujian spiritual. Burung, misalnya, sering diasosiasikan dengan kebebasan jiwa, sementara pohon beringin melambangkan “axis mundi”—poros yang menghubungkan bumi dan langit. Dalam praktik meditasi Jawa kuno, visualisasi gunungan digunakan sebagai alat untuk mencapai keadaan “heneng-hening” (keheningan dan kejernihan batin). Setiap detail pada gunungan berfungsi sebagai mandala yang memandu konsentrasi, sementara gerakannya yang diayunkan dalang dianggap sebagai analogi dari gerak energi kosmis yang mengalir dalam tubuh mikrokosmos.
Sementara itu, bagian bawah gunungan yang dihiasi raksasa atau binatang buas merepresentasikan dunia bawah—alam insting, nafsu, dan kegelapan. Dalam esoterisme Jawa, wilayah ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari, melainkan sebagai bagian integral dari diri yang perlu dikenali dan ditransformasi. Konsep “nglaho” (mengolah) dalam tradisi kejawen merujuk pada upaya menyublimasi energi negatif menjadi kekuatan spiritual. Gambaran makhluk chaos di dasar gunungan mengingatkan bahwa pencerahan tidak mungkin tercapai tanpa melewati “neraka” personal—konfrontasi dengan bayangan diri (shadow) yang menjadi syarat integrasi psikis.
Melalui lensa theosofi—sebuah aliran pemikiran yang mencari “kebenaran abadi” di balik semua agama—gunungan dapat dipahami sebagai sintesis dari kebijaksanaan universal. Theosofi, yang dipengaruhi Hinduisme, Buddhisme, dan mistisisme Barat, melihat kesamaan esensial dalam simbol-simbol spiritual berbagai budaya. Bentuk segitiga gunungan, misalnya, muncul dalam banyak tradisi: sebagai piramida Mesir, Shivlinga dalam Hindu, atau delta dalam Kristen yang melambangkan Trinitas. Dalam konteks ini, gunungan Jawa bukan sekadar produk budaya lokal, melainkan ekspresi dari “philosophia perennis”—kebenaran spiritual yang melampaui batas geografis dan historis.
Konsep Gunung Meru dalam kosmologi Hindu-Buddha, yang diadaptasi menjadi gunungan wayang, misalnya, memiliki paralel dengan Gunung Olympus dalam mitologi Yunani atau Gunung Qaf dalam sufisme Islam. Theosofi melihat ini sebagai bukti bahwa masyarakat tradisional, meski terpisah geografi, memiliki pemahaman intuitif tentang struktur hierarkis alam semesta. Puncak gunung sebagai tempat para dewa bersemayam merepresentasikan dunia noumena (realitas sejati), sementara lereng dan dasarnya melambangkan dunia fenomenal (realitas ilusif). Dalam terminologi theosofi Helena Blavatsky, gunungan adalah simbol dari “rencana kosmik” yang terdiri dari tujuh bidang kesadaran, di mana manusia harus berevolusi melalui siklus reinkarnasi.
Pertunjukan wayang sendiri, dengan gunungan sebagai porosnya, dapat dibaca sebagai drama kosmis theosofis. Lakon-lakon wayang seperti “Lahirnya Gatotkaca” atau “Bima Suci” merefleksikan perjalanan jiwa (monad dalam theosofi) yang harus melalui berbagai ujian untuk mencapai pencerahan. Dalang, dalam hal ini, berperan sebagai “guru sejati” yang mengarahkan penonton—secara sadar atau tidak—untuk merefleksikan hukum karma dan dharma. Gerakan gunungan yang memisahkan satu adegan dengan adegan lain adalah metafora dari “siklus yuga” (zaman kosmis) dalam Hindu, atau “maha manvantara” dalam theosofi, yang menekankan bahwa waktu adalah spiral naik menuju kesempurnaan.
Aspek seni dalam gunungan juga mengandung dimensi theosofis. Ornamennya yang rumit, yang memadukan motif pra-Islam dengan pengaruh Hindu dan Islam, mencerminkan prinsip “kesatuan dalam keberagaman”. Theosofi menekankan bahwa semua agama berasal dari sumber kebenaran yang sama, dan gunungan—dengan harmonisasi simbol-simbol lintas budaya—menjadi bukti visual dari thesis ini. Misalnya, bentuk meruncing ke atas yang mengingatkan pada menara masjid atau stupa Buddha, api sebagai simbol penyucian dalam Zoroasterianisme, atau burung Garuda yang dalam tradisi Hindu adalah kendaraan Wisnu, semuanya bersatu dalam satu komposisi yang koheren. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa telah melakukan “alchemy spiritual” dengan melebur unsur-unsur luar ke dalam kerangka pandangan dunia lokal.
Dalam konteks kontemporer, gunungan tetap relevan sebagai alat kontemplasi filosofis dan spiritual. Masyarakat modern yang terjebak dalam dikotomi sains-agama dapat menemukan dalam gunungan sebuah model kosmologi holistik. Ilmu fisika kuantum, misalnya, berbicara tentang dualitas partikel-gelombang yang mirip dengan konsep Rwa Bhineda. Teori chaos modern, yang menemukan keteraturan dalam sistem kompleks, beresonansi dengan gambaran gunungan yang memadukan ketertiban dan kekacauan. Bahkan konsep hologram dalam teknologi—di mana setiap bagian mengandung informasi keseluruhan—telah diantisipasi oleh simbolisme gunungan sebagai “miniatur kosmos”.
Dari sudut esoteris, gunungan menawarkan kritik halus terhadap materialisme modern. Dengan menempatkan alam spiritual sebagai puncak hirarki eksistensi, ia mengingatkan bahwa kemajuan teknologis harus seimbang dengan kedewasaan batin. Ritual-ritual seperti Grebeg Maulud, di mana gunungan dari hasil bumi dibagikan kepada masyarakat, bukan sekadar tradisi mati, melainkan simbolisasi dari prinsip “memberi untuk menerima”—sebuah hukum spiritual yang berlaku universal. Dalam theosofi, ini selaras dengan hukum tertinggi “altruisme” yang menempatkan pelayanan kepada sesama sebagai jalan menuju pencerahan.
Namun, makna gunungan tidak boleh dibaca secara dogmatis. Sebagai simbol hidup, ia terbuka untuk interpretasi yang dinamis sesuai konteks zaman. Bagi seniman kontemporer, gunungan bisa menjadi medium kritik sosial—misalnya, dengan menggambarkan pencemaran lingkungan di bagian “dunia bawah”-nya. Bagi aktivis spiritual, ia bisa menjadi ikon gerakan ekofeminisme dengan menekankan relasi sakral antara manusia dan alam. Fleksibilitas inilah yang membuat gunungan tetap menjadi “cermin kosmos” yang relevan, mampu menangkap gelombang perubahan zaman tanpa kehilangan esensi spiritualnya.
Pada akhirnya, gunungan wayang kulit adalah mahakarya budaya yang menyatukan seni, filsafat, dan spiritualitas dalam satu bentuk yang padat. Melalui perspektif filsafat Jawa, ia mengajarkan keseimbangan; melalui esoterisme, ia menawarkan peta menuju pencerahan; dan melalui theosofi, ia mengungkap benang merah kebijaksanaan universal. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, gunungan mengingatkan kita bahwa solusi atas krisis peradaban tidak terletak pada dominasi satu perspektif, melainkan pada kemampuan menyelaraskan yang material dengan yang spiritual, yang lokal dengan yang universal. Seperti gunung yang tetap tegak meski diterpa badai, gunungan mengajarkan keteguhan dalam pencarian kebenaran—sebuah kebenaran yang tidak berada di puncak, tetapi dalam setiap langkah pendakian untuk mencapainya.
Referensi:
1. Filsafat Jawa & Makna Simbolis Gunungan
- Haryanto,
S. (1988). Pergelaran Wayang Kulit: Tinjauan dari Segi
Sosiologi, Agama, dan Pendidikan. Penerbit Dahara Prize.
→ Membahas konsep Rwa Bhineda dan Manunggaling Kawula lan Gusti dalam konteks wayang. - Mulder,
N. (2005). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Kanisius.
→ Analisis tentang mistisisme Jawa dan hubungannya dengan simbol-simbol wayang. - Siswanto,
J. (2010). Filsafat Wayang: Dari Ontologi sampai Etika. Penerbit
Ombak.
→ Menjelaskan konsep dualitas, kosmologi, dan etika dalam wayang kulit.
2. Esoterisme & Spiritualitas Jawa
- Subagya,
R. (1981). Agama Asli Indonesia. Penerbit Sinar
Harapan.
→ Membahas unsur esoteris dalam tradisi Jawa, termasuk simbol gunungan. - Simuh
(1995). Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik
Jawa. Bentang Budaya.
→ Menjelaskan kaitan antara mistisisme Islam-Jawa dengan simbol wayang. - Eliade,
M. (1959). The Sacred and the Profane: The Nature of Religion. Harcourt.
→ Konsep axis mundi (poros dunia) dan hubungannya dengan simbol gunung/gunungan.
3. Theosofi & Perbandingan Simbol Kosmik
- Blavatsky,
H.P. (1888). The Secret Doctrine. Theosophical
University Press.
→ Membahas simbol universal dalam tradisi dunia, termasuk gunung sebagai pusat kosmos. - Guénon,
R. (1945). The Great Triad. Sophia Perennis.
→ Analisis tentang simbol trinitas (tiga dunia) dalam tradisi Timur dan Barat. - Coomaraswamy,
A.K. (1938). Elements of Buddhist Iconography. Harvard
University Press.
→ Membahas paralel antara Gunung Meru (Hindu-Buddha) dan simbol serupa di budaya lain.
4. Sejarah Seni & Antropologi Wayang
- Holt,
C. (1967). Art in Indonesia: Continuities and Change. Cornell
University Press.
→ Menelusuri evolusi bentuk gunungan dalam seni pertunjukan Jawa. - Keeler,
W. (1987). Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Princeton
University Press.
→ Studi antropologis tentang makna wayang dalam masyarakat Jawa modern. - Brandon,
J.R. (1970). On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow Plays. Harvard
University Press.
→ Analisis mendalam tentang struktur pertunjukan wayang dan peran gunungan.
5. Mistisisme & Energi Spiritual
- Woodroffe,
J. (1919). The Serpent Power: The Secrets of Tantric and
Shaktic Yoga. Dover Publications.
→ Penjelasan tentang Kundalini dan kaitannya dengan simbol api di puncak gunungan. - Schimmel,
A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University
of North Carolina Press.
→ Membahas konsep fana dan baqa dalam sufisme, relevan dengan filosofi gunungan.
6. Kontemporer: Wayang & Relevansinya
- Sears,
L. (1996). Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese
Tales. Duke University Press.
→ Membahas transformasi makna wayang (termasuk gunungan) dalam konteks modern. - Rassers,
W.H. (1959). Panji, the Culture Hero: A Structural Study of
Religion in Java. Martinus Nijhoff.
→ Pendekatan strukturalis terhadap mitos dan simbol wayang.
Comments
Post a Comment