Kisah channeler Barry Strohm yang mengaku dapat berkomunikasi dengan kucing kesayangannya setelah kematiannya, dan menyatakan bahwa kucing itu akan kembali dalam sembilan bulan, membuka sebuah diskusi menarik tentang konsep reinkarnasi dan pilihan jiwa dalam konteks evolusi kesadaran. Kisah ini mengisyaratkan bahwa bahkan entitas kesadaran tingkat rendah, seperti hewan, memiliki kemampuan untuk memilih pengalaman hidup yang sesuai dengan jalan evolusi mereka. Dari sudut pandang ini, dunia diibaratkan sebagai panggung besar tempat setiap jiwa, termasuk kesadaran D2 seperti kucing, menjalani drama yang telah dipilih atau disetujui sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka.
Seiring dengan itu, pandangan tentang peran Tuhan sebagai "Sumber," "Kesadaran Agung," dan "Penyaksi Agung" memperkenalkan perspektif teologis yang mencakup pandangan para pemikir seperti Einstein, Spinoza, Taoisme, Kejawen, dan Advaita Vedanta. Tuhan bukan lagi entitas antroposentris yang mengatur setiap kejadian secara langsung, melainkan menjadi kesadaran kosmik yang memungkinkan semua kejadian timbul dan tenggelam. Pandangan ini mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali peran kita sebagai individu dalam "drama kehidupan" yang lebih luas.
Kesadaran sebagai Pengamat dan Pelaku Drama
Dalam kerangka pemikiran ini, setiap entitas, baik manusia maupun hewan, dianggap sebagai pelaku drama yang memilih perannya dalam kehidupan sebagai bagian dari evolusi kesadaran mereka. Semua peristiwa yang terjadi dalam hidup adalah hasil dari pilihan bebas jiwa untuk mengalami dan belajar dari situasi tertentu. Misalnya, kejadian kembalinya kucing dalam bentuk baru tidak dianggap sebagai kebetulan belaka, melainkan bagian dari drama yang dipilih oleh jiwa kucing itu untuk melanjutkan pelajaran atau hubungan emosional dengan pemiliknya.
Kesadaran, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar penonton pasif tetapi juga penggerak aktif dalam penciptaan realitas pribadi. Perspektif ini menggarisbawahi pentingnya memahami bahwa setiap jiwa memiliki peran untuk dimainkan dalam narasi kosmik, dan bahwa pelajaran yang kita terima dari pengalaman hidup adalah bagian dari perjalanan menuju pencerahan. Ketika kita memahami kehidupan sebagai sebuah proses pembelajaran yang terus-menerus, kita mulai melihat peristiwa yang tampaknya "kebetulan" sebagai hasil dari pola-pola yang telah diciptakan oleh niat dan energi jiwa itu sendiri.
Tuhan sebagai Penyaksi Agung dan Kanvas Kosmik
Dalam pandangan ini, Tuhan tidak lagi dilihat sebagai pengatur atau pengendali langsung dari setiap peristiwa, tetapi sebagai "kanvas putih" yang memungkinkan segala sesuatu ada. Ini sejalan dengan pemikiran Albert Einstein tentang Tuhan Spinoza, yang menganggap Tuhan sebagai perwujudan dari hukum-hukum alam yang mengatur semesta. Tuhan adalah sumber energi kosmik yang menyatukan segala sesuatu, memungkinkan semua entitas kesadaran untuk berevolusi melalui pengalaman mereka sendiri.
Konsep Tuhan sebagai "penyaksi" juga dijumpai dalam ajaran Advaita Vedanta, yang menyatakan bahwa Atman (diri sejati) adalah saksi dari semua aktivitas fisik dan mental, serta satu dengan Brahman (kesadaran universal). Dalam hal ini, Tuhan tidak terlibat dalam penghakiman atau intervensi dalam tindakan individu, melainkan berfungsi sebagai keberadaan yang memungkinkan ruang untuk tindakan tersebut terjadi. Ini mirip dengan fungsi kanvas bagi seorang pelukis; kanvas tidak menentukan apa yang akan dilukis, tetapi menyediakan ruang bagi seniman untuk menuangkan ide dan kreativitas mereka.
Pilihan Jiwa dan Konsekuensinya
Jika kehidupan dilihat sebagai sebuah drama atau permainan, maka pilihan-pilihan yang dibuat oleh jiwa menjadi aspek penting dalam menentukan pengalaman hidup yang akan dihadapi. Konsep karma dalam filsafat Hindu dan Buddha menyatakan bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi yang seimbang, baik itu dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang. Dalam konteks ini, pilihan jiwa untuk mengalami penderitaan atau kebahagiaan bukanlah bentuk hukuman atau hadiah dari Tuhan, melainkan hasil dari hukum alam semesta yang bekerja secara otomatis. Pilihan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi jiwa untuk tumbuh dan belajar melalui berbagai pengalaman.
Sebagai contoh, seseorang yang dalam kehidupan sebelumnya mengalami kesulitan dalam mengendalikan amarah mungkin memilih untuk dilahirkan dalam situasi yang memicu emosi tersebut, bukan sebagai bentuk hukuman, tetapi sebagai tantangan untuk belajar mengatasi kelemahan tersebut. Begitu pula, jiwa yang ingin mengalami kasih sayang mungkin memilih untuk dilahirkan dalam keluarga yang penuh cinta, agar ia dapat merasakan dan belajar memberikan kasih sayang kepada orang lain.
Penciptaan Tuhan dan Konsep Kiamat
Dari perspektif yang lebih filosofis, konsep tentang Tuhan dan agama itu sendiri dianggap sebagai produk pikiran manusia. Manusia menciptakan gambar Tuhan berdasarkan kebutuhan spiritual dan psikologis mereka sendiri. Oleh karena itu, Tuhan dalam berbagai tradisi agama memiliki ciri yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan budaya dan sejarah yang melatarbelakanginya. Misalnya, dalam agama-agama Semitik, Tuhan sering digambarkan sebagai entitas yang memiliki sifat-sifat manusiawi, seperti kecemburuan, kasih sayang, dan murka. Sebaliknya, dalam tradisi filsafat Timur seperti Taoisme dan Advaita Vedanta, Tuhan dianggap lebih impersonal, sebagai hukum-hukum alam atau kesadaran universal yang tidak memiliki bentuk atau sifat tertentu.
Dalam teks ini juga disebutkan bahwa "jadwal kiamat" tidak ada di kalender Tuhan. Kiamat atau kehancuran peradaban lebih merupakan hasil dari tindakan manusia itu sendiri, seperti perang nuklir, kerusakan lingkungan, atau bencana buatan lainnya. Dalam konteks ini, Tuhan bukanlah penghakim atau penghukum, tetapi kesadaran yang memungkinkan hukum sebab-akibat berjalan. Dengan demikian, kehancuran suatu peradaban bukanlah akhir dari evolusi spiritual, melainkan hanya transisi dari satu fase ke fase lainnya.
Setelah medan morfogenetik planet bumi dan matriks jiwa hancur, evolusi spiritual akan berpindah ke planet lain atau dimensi lain yang sudah siap. Konsep ini sejalan dengan pandangan tentang multiverse atau alam semesta paralel, di mana jiwa-jiwa dapat berpindah antar dunia untuk melanjutkan proses evolusi mereka. Dengan demikian, proses ini bersifat berkesinambungan dan tidak terbatas hanya pada satu planet atau dimensi.
Alam Semesta sebagai Virtual Reality dan Matriks Kesadaran
Dalam metafisika modern dan beberapa teori fisika kuantum, alam semesta dianggap sebagai bentuk "virtual reality," di mana pikiran dan kesadaran memainkan peran utama dalam membentuk realitas fisik. Dalam konteks ini, tubuh fisik kita adalah "avatar" sementara jiwa kita adalah pemain yang berada di balik layar. Segala sesuatu yang kita alami dalam dunia fisik, termasuk penderitaan, kebahagiaan, kematian, dan kelahiran, hanyalah ilusi atau fenomena yang terjadi dalam ruang dan waktu. Ini mencerminkan pandangan Advaita Vedanta yang menyatakan bahwa realitas sejati adalah Brahman (Kesadaran Murni), sedangkan dunia material hanyalah maya (ilusi).
Matriks kesadaran ini memungkinkan setiap entitas untuk memilih turun ke dimensi tertentu guna berevolusi. Keputusan untuk berinkarnasi di bumi, misalnya, dapat dilihat sebagai pilihan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman di dunia fisik yang penuh tantangan. Matriks ini juga memungkinkan pertukaran energi dan informasi antara dimensi, yang menjelaskan mengapa beberapa individu mungkin memiliki memori tentang kehidupan masa lalu atau pengalaman spiritual lainnya.
Implikasi Etis dan Spiritual
Jika kita menganggap kehidupan sebagai drama evolusi spiritual, maka implikasi etis dari pandangan ini menjadi lebih jelas. Setiap tindakan yang kita lakukan dalam kehidupan ini akan mempengaruhi evolusi jiwa kita sendiri dan jiwa-jiwa lain yang terlibat. Dengan demikian, perbuatan baik bukan hanya soal moralitas, melainkan juga cara untuk mempercepat evolusi spiritual. Di sisi lain, perbuatan jahat atau destruktif tidak hanya berdampak pada dunia luar tetapi juga menghalangi kemajuan spiritual jiwa kita.
Konsep ini juga dapat mengubah cara kita memandang penderitaan dan kesulitan hidup. Alih-alih melihatnya sebagai hukuman atau ketidakadilan, kita dapat memandangnya sebagai tantangan yang dipilih oleh jiwa untuk mengembangkan kualitas tertentu, seperti ketabahan, kebijaksanaan, atau kasih sayang. Dengan begitu, kita belajar menerima dan merangkul setiap pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, sebagai bagian dari perjalanan menuju pencerahan dan penyembuhan jiwa.
Kesimpulan
Drama kehidupan di bumi, dengan segala penderitaan dan kebahagiaannya, merupakan bagian integral dari evolusi kesadaran jiwa. Tuhan, dalam pandangan ini, bukanlah sosok yang mengatur setiap peristiwa secara langsung, melainkan Kesadaran Agung yang memungkinkan semua entitas memilih drama mereka sendiri dan mengalami akibat dari pilihan tersebut. Tuhan adalah saksi dan kanvas kosmik, memberikan ruang bagi setiap kesadaran untuk belajar, tumbuh, dan berevolusi.
Dengan memandang kehidupan sebagai sebuah drama evolusi spiritual, kita dapat melihat segala peristiwa sebagai bagian dari skenario yang dirancang untuk pertumbuhan jiwa. Dalam skenario ini, Tuhan berperan sebagai "penyaksi agung" dan kanvas kosmik yang memungkinkan setiap pengalaman terjadi. Melalui perspektif ini, setiap pengalaman hidup, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan, dipandang sebagai peluang untuk belajar, menyembuhkan, dan mencapai kedamaian batin.
Pandangan ini tidak hanya mengubah cara kita memaknai penderitaan, tetapi juga menginspirasi kita untuk menghadapi kehidupan dengan lebih banyak kebijaksanaan dan pengertian. Segala sesuatu yang kita alami menjadi cerminan dari pilihan-pilihan spiritual kita, yang secara kolektif berkontribusi pada proses evolusi kesadaran di alam semesta. Dengan memahami bahwa setiap jiwa memainkan peran dalam drama yang lebih besar, kita juga diingatkan untuk hidup dengan lebih sadar dan penuh tanggung jawab, menyadari bahwa setiap tindakan dan pilihan memiliki dampak yang meluas, tidak hanya pada diri kita sendiri tetapi juga pada jiwa-jiwa lain di sekitar kita.
Daftar Pustaka
1. Capra, F. (1982). The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism. Shambhala Publications.
2. Einstein, A. (1984). Ideas and Opinions. Three Rivers Press.
3. Laszlo, E. (2004). Science and the Akashic Field: An Integral Theory of Everything. Inner Traditions.
4. Spinoza, B. (2002). The Ethics. Penguin Classics.
5. Vedanta, S. (2007). Advaita Vedanta: A Philosophical Reconstruction. University of Hawaii Press.
6. Sheldrake, R. (1981). A New Science of Life: The Hypothesis of Formative Causation. J.P. Tarcher.
7. Chardin, T. de (1959). The Phenomenon of Man. Harper & Row.
Comments
Post a Comment