Welas Asih



Dalam perenungan tentang hakikat kasih dan welas asih, manusia senantiasa dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah realitas ini terbagi dalam dikotomi yang saling bertentangan, ataukah ia adalah kesatuan yang tak terpisahkan? Pertanyaan ini bukan hanya menjadi inti dari perdebatan filosofis sepanjang sejarah pemikiran, tetapi juga menyentuh jantung praktik spiritual, esoteris, dan theosofis. Dari sudut pandang filsafat, dualisme Plato yang memisahkan dunia ide dari dunia materi, atau Descartes yang membedakan substansi mental dan fisik, telah membentuk cara manusia memandang dirinya dalam relasi dengan yang Ilahi, alam, dan sesama. Namun, tradisi esoteris seperti Hermetisisme dengan prinsip "sebagaimana di atas, demikian pula di bawah", serta theosofi yang menyatukan kebijaksanaan Timur dan Barat, menawarkan lensa alternatif: bahwa segala keberadaan adalah manifestasi dari satu Realitas Mutlak yang tak terbagi. Konflik antara paradigma dualistik dan non-dualistik ini tidak hanya abstrak, tetapi memiliki konsekuensi nyata dalam cara kita memahami welas asih—baik terhadap makhluk halus, kelompok terpinggirkan, maupun diri sendiri.

Dalam agama-agama Abrahamik, dualisme menubuh dalam bentuk pemisahan transenden antara yang suci dan profan, Tuhan dan ciptaan, kebaikan dan kejahatan. Konsep setan sebagai entitas yang secara intrinsik jahat, atau neraka sebagai ruang pemisah abadi, mencerminkan struktur ontologis yang memilah realitas menjadi dua kutub yang tak terdamaikan. Dari perspektif filosofis, ini mengingatkan pada dialektika Hegelian di mana "yang Lain" diperlukan untuk mendefinisikan diri, tetapi dalam konteks teologis, dikotomi ini sering kali melahirkan sikap defensif. Kitab Suci Ibrani menggambarkan Azazel sebagai makhluk padang gurun yang menampung dosa manusia (Imamat 16:8-10), sementara Perjanjian Baru menampilkan Yesus yang mengusir roh jahat (Markus 5:1-20). Narasi ini, meski bermuatan moral, secara tidak langsung menciptakan hierarki spiritual di mana belas kasih bersyarat: layak diberikan kepada yang "suci", tetapi harus ditahan dari yang "terkotak".

Tradisi esoteris seperti Kabbalah sebenarnya menawarkan nuansa lebih dalam. Dalam Zohar, Sitra Achra (sisi lain) bukanlah kekuatan otonom, tetapi aspek gelap dari En Sof—Yang Tak Terbatas. Konsep "Tzimtzum" (penciutan diri Ilahi) dari Isaac Luria menjelaskan bagaimana kejahatan muncul dari fragmentasi cahaya Ilahi dalam proses penciptaan. Di sini, setan bukanlah entitas terpisah, tetapi bayangan yang muncul ketika cahaya terhalang. Pandangan ini, meski tetap dalam kerangka Yahudi, menyiratkan non-dualisme tersamar: kegelapan adalah ketiadaan cahaya, bukan lawannya. Namun dalam praktik populer, pemahaman ini sering tenggelam dalam moralisme dualistik yang kaku.

Berbeda dengan ini, tradisi Dharmik (Hindu-Buddha) dan kejawen membangun epistemologi non-dualistik. Upanishad menyatakan "Tat Tvam Asi" (Engkau adalah Itu), sementara Buddhisme Mahayana mengajarkan Śūnyatā—kekosongan yang melampaui segala dikotomi. Dalam Bhagavad Gītā (6:29), Yang Maha Kuasa hadir "dalam diri pertapa maupun penjagal". Tradisi Kejawen dengan konsep "Manunggaling Kawula Gusti" (penyatuan hamba dan Tuhan) melihat makhluk halus bukan sebagai entitas terpisah, tetapi sebagai bagian dari kesadaran kosmis. Dari kacamata theosofi Helena Blavatsky, semua makhluk—dari deva hingga pretā (roh kelaparan dalam Buddhisme)—adalah tahapan evolusi jiwa dalam siklus reinkarnasi yang panjang. Perbedaan mereka hanyalah ilusi Maya, tabir yang menyembunyikan kesatuan hakiki.

Perspektif ini membawa implikasi radikal terhadap konsep welas asih. Dalam Visuddhimagga Buddhisme Theravada, praktik mettā (cinta kasih) harus diperluas bahkan kepada ular berbisa: "Semoga makhluk ini terbebas dari kebencian". Kisah Jātaka tentang Buddha yang mengorbankan diri untuk memberi makan harimau yang kelaparan bukan sekadar alegori, tetapi demonstrasi belas kasih non-selektif. Di Bali, ritual Melasti membersihkan segara (laut) sekaligus roh-roh yang menghuninya. Ritual ini mengandung pemahaman bahwa penyucian lingkungan fisik dan spiritual adalah satu kesatuan. Theosofi modern seperti Alice Bailey dalam "Treatise on Cosmic Fire" menggambarkan alam astral—tempat bermukimnya makhluk halus—sebagai lapisan kesadaran kolektif yang harus ditransmutasi melalui energi kasih, bukan ditakuti.

Dalam konteks sosial, paradigma non-dualistik ini melahirkan etika inklusif. Filsuf Stoik seperti Marcus Aurelius dalam "Meditations" menulis: "Apa yang tak baik bagi lebah, tak baik bagi sarang". Ini menggema prinsip Hindu Vasudhaiva Kutumbakam (dunia adalah keluarga). Sosiolog Peter L. Berger dalam "The Sacred Canopy" menjelaskan bagaimana konstruksi sosial tentang "kotor" dan "suci" menciptakan mekanisme pengucilan. Kelompok marginal—gelandangan, pekerja seks, narapidana—dijadikan "kambing hitam" untuk mempertahankan tatanan dualistik. Tetapi dalam tradisi Bhakti India, penyair-santo seperti Ravidas (yang berasal dari kasta penyamak kulit) menyanyikan: "Tuhan ada dalam diri pengumpul sampah maupun brahmana". Paradoks ini mengungkap kebenaran esoteris: kasta adalah ilusi sosial, sementara atman (jiwa) tetap murni.

Namun, praktik welas asih yang sejati memerlukan transcendensi ego—tantangan tersulit dalam jalan spiritual. Filsuf Kierkegaard dalam "Works of Love" mengingatkan bahwa kasih manusiawi sering terkontaminasi oleh kepentingan tersembunyi. Psikolog Carl Jung menyebut bayangan (shadow) sebagai bagian diri yang kita proyeksikan kepada "liyan". Dalam tradisi Sufi, Rumi menggambarkan ego (nafs) sebagai serigala yang harus dijinakkan: "Jika kau memberinya makan, ia akan meminta lebih. Jika kau mengabaikannya, ia akan menguasaimu". Di sini, welas asih non-dualistik mensyaratkan integrasi bayangan, bukan pengusirannya. Praktik Chöd Buddhisme Tibet, di mana praktisi mempersembahkan tubuhnya kepada makhluk halus dalam meditasi, adalah contoh ekstrem dari belas kasih yang melampaui dualisme hidup-mati.

Tantangan ini terlihat nyata dalam interaksi sosial. Saat seseorang memberi sedekah dengan sikap superior, ia sebenarnya memperkuat dikotomi pemberi-penerima. Tolstoy dalam "Kerajaan Allah Ada di Dalam Dirimu" mengkritik filantropi yang tidak menyentuh akar ketidakadilan. Sementara itu, Bunda Teresa mengajarkan bahwa melayani orang miskin adalah "menyentuh tubuh Kristus yang menderita". Perbedaan ini bukan pada tindakan lahiriah, tetapi pada kesadaran batin: apakah kita melihat penerima sebagai "orang lain yang malang" atau sebagai perwujudan Yang Ilahi?

Dalam ranah makhluk halus, sikap batin ini menentukan kualitas interaksi. Anthroposophi Rudolf Steiner menjelaskan bahwa entitas alam astral merespons getaran emosi manusia. Ketakutan akan menarik bentuk-pikiran (thought-forms) yang menakutkan, sementara kasih tanpa syarat menciptakan medan energi yang mentransmutasi kegelapan. Kisah bhikkhu Thailand Ajahn Chah yang berdialog dengan hantu penunggu pohon menunjukkan bagaimana ketenangan batin non-dualistik dapat mengubah dinamika relasi. Dalam tradisi Kristen esoteris, para mistikus seperti St. Francis mengajak "Saudara Angin dan Suster Burung" dalam khotbah, mengakui kesakralan seluruh ciptaan.

Theosofi mengajarkan Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction) bukan sebagai konsep New Age yang simplistis, tetapi sebagai prinsip kosmik: seperti halnya besi tertarik pada magnet, kesadaran manusia menarik pengalaman yang sesuai dengan getaran jiwanya. Dalam "The Voice of the Silence", Blavatsky menulis: "Pikiran adalah pembunuh yang nyata. Siswa harus membunuh si pembunuh". Ini merujuk pada kebutuhan untuk melampaui pikiran dualistik yang memilah realitas menjadi subjek-objek. Hanya dengan ini, kasih yang tanpa batas bisa bersemi.

Namun, jalan non-dualistik bukan berarti mengabaikan kejahatan. Advaita Vedānta membedakan antara Vyavahārika (kebenaran relatif) dan Paramārthika (kebenaran absolut). Pada tingkat relatif, pembedaan baik-buruk diperlukan untuk tata sosial. Tetapi pada tingkat absolut, segala fenomena adalah permainan (līlā) Brahman. Dalam Taoisme, konsep Wu Wei (tindakan tanpa upaya) bukan pasivisme, tetapi harmonisasi dengan Tao—sumber segala dualitas. Filsuf Tao Zhuangzi bercerita tentang tukang kayu yang mengolah kayu "mengikuti garis alam", metafora untuk bertindak sesuai Dharma tanpa keterikatan.

Penerapan praktis filsafat ini terlihat dalam konsep Ubuntu Afrika: "Aku ada karena kita ada". Saat konflik Rwanda, kelompok perdamaian menggunakan prinsip ini untuk memulihkan rekonsiliasi. Mereka memahami bahwa pelaku genosida dan korban sama-sama terjebak dalam siklus penderitaan yang perlu diputus. Pendekatan ini selaras dengan ajaran Buddhis tentang penyebab saling bergantung (pratītyasamutpāda): kebencian melahirkan kebencian, hanya kasih yang menghentikan siklus.

Di tingkat individu, latihan melepaskan residu emosi membutuhkan disiplin batin. Stoikisme mengajarkan "amor fati"—mencintai takdir. Dalam Yoga Sutra Patanjali, "abhyāsa" (latihan terus-menerus) dan "vairāgya" (ketidakmelekatan) adalah pilar untuk mencapai citta-vṛtti-nirodha (penghentian fluktuasi pikiran). Mistikus Kristen seperti Meister Eckhart berbicara tentang "Gelassenheit"—penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi. Semua ini adalah bentuk pelepasan dari dikotomi suka-tidak suka yang menjadi akar penderitaan.

Akan tetapi, bahaya selalu mengintai. Spiritualitas non-dualistik bisa jatuh ke dalam relativisme moral jika dipahami secara intelektual belaka. Filsuf Ken Wilber memperingatkan tentang "kesalahan pre/trans"—menganggap kekacauan pra-rasional (pre) sebagai pencerahan trans-rasional (trans). Inilah mengapa tradisi esoteris selalu menekankan pentingnya guru yang kompeten. Dalam Vajrayana, hanya mereka yang telah mencapai realisasi sunyata (Vajra Master) yang dianggap mampu melakukan praktik tantra tanpa terjerat ilusi.

Pada akhirnya, kasih dan welas asih dalam paradigma non-dualistik bukanlah konsep, tetapi pengalaman penyatuan. Seperti garam yang larut dalam air, ia meresap ke seluruh relasi manusia dengan diri, sesama, alam, dan yang transenden. Dari sudut pandang theosofis, ini adalah manifestasi hukum kesatuan spiritual segala kehidupan. Filsafat eksistensialis mungkin menyebutnya "being-for-others" (Heidegger), psikologi humanis sebagai "self-transcendence" (Maslow), sementara ilmu fisika modern menemukannya dalam teori medan terpadu. Dalam setiap tradisi, dengan bahasanya sendiri, manusia merindukan pulang ke kesatuan yang tak terpisahkan—di mana kasih bukan lagi tindakan, tetapi keadaan keberadaan itu sendiri. Di sanalah dualisme dan non-dualisme berdamai, bukan sebagai konsep yang bertentangan, tetapi sebagai tangga dan sungai yang mengantar jiwa kembali ke Samudra Keberadaan.

Referensi:

1. Filsafat & Teologi**
- **Plato**: *Republic* (Allegory of the Cave, dualisme dunia ide-dunia materi).  
- **René Descartes**: *Meditations on First Philosophy* (dualisme substansi pikiran-tubuh).  
- **Georg Wilhelm Friedrich Hegel**: *Phenomenology of Spirit* (dialektika subjek-objek).  
- **Søren Kierkegaard**: *Works of Love* (kasih dalam konteks iman Kristen).  
- **Martin Heidegger**: *Being and Time* (konsep "being-for-others").  
- **Marcus Aurelius**: *Meditations* (Stoikisme dan kesatuan kosmis).  
- **Peter L. Berger**: *The Sacred Canopy* (sosiologi agama dan konstruksi sosial).  

2. Tradisi Abrahamik & Esoteris Barat**
- **Alkitab**:  
  - *Imamat 16:8-10* (Azazel dalam tradisi Yahudi).  
  - *Markus 5:1-20* (Yesus mengusir roh jahat).  
- **Kabbalah**:  
  - *Zohar* (konsep Sitra Achra dan En Sof).  
  - **Isaac Luria**: *Tzimtzum* (penciutan ilahi dalam Kabbalah Lurianik).  
- **Christian Mysticism**:  
  - **Meister Eckhart**: *Sermons* (Gelassenheit, penyerahan diri).  
  - **St. Francis of Assisi**: *Canticle of the Sun* (kesatuan dengan alam).  

3. Tradisi Dharmik (Hindu-Buddha)**
- **Upanishad**:  
  - *Chandogya Upanishad* ("Tat Tvam Asi").  
- **Bhagavad Gītā**:  
  - *6:29* (Kesatuan dalam keberagaman).  
- **Buddhisme**:  
  - **Visuddhimagga** (metta/loving-kindness).  
  - **Śūnyatā** (konsep kekosongan dalam Mahayana).  
  - **Pratītyasamutpāda** (sebab-akibat saling bergantung).  
  - **Jātaka Tales** (kisah pengorbanan Buddha).  
- **Tantra & Vajrayana**:  
  - **Chöd Practice** (Machig Labdrön, persembahan tubuh kepada makhluk halus).  
  - **Vajra Master** (realisasi sunyata dalam Vajrayana).  

4. Theosofi & Esoterisme Modern**
- **Helena Blavatsky**:  
  - *The Secret Doctrine* (kesatuan spiritual).  
  - *The Voice of the Silence* (ajaran non-dualistik).  
- **Alice Bailey**:  
  - *Treatise on Cosmic Fire* (alam astral dan evolusi jiwa).  
- **Rudolf Steiner**:  
  - *Anthroposophy* (makhluk halus dan kesadaran manusia).  

5. Tradisi Lain & Praktik Spiritual**
- **Kejawen**:  
  - *Manunggaling Kawula Gusti* (penyatuan hamba-Tuhan).  
- **Sufisme**:  
  - **Rumi**: *Masnavi* (peleburan ego dalam cinta ilahi).  
- **Ubuntu Philosophy**:  
  - "Aku ada karena kita ada" (filosofi Afrika tentang kesalingterhubungan).  

6. Psikologi & Analisis Kontemporer**
- **Carl Jung**:  
  - *Shadow Archetype* (proyeksi dan integrasi kegelapan).  
- **Abraham Maslow**:  
  - *Self-Transcendence* (psikologi humanis).  
- **Ken Wilber**:  
  - *The Pre/Trans Fallacy* (bahaya mengacaukan pra-rasional dan trans-rasional).  

 7. Sumber Historis & Naratif**
- **Leo Tolstoy**: *The Kingdom of God Is Within You* (kritik filantropi).  
- **Mother Teresa**: *No Greater Love* (pelayanan sebagai penyatuan dengan Kristus).  
- **Ajahn Chah**: *Teachings* (interaksi dengan makhluk halus dalam Buddhisme Theravada).  


Comments